Mazmur
 (Simson Sikoway), menanti di sebuah lapangan terbang tua, satu-satunya 
penghubung kampung dengan dunia di luar sana. Bapak Yakub, seorang 
penjaga usia lanjut yang masih menjaga tradisi dengan kuat, melihat 
bagaimana kegelisahan Mazmur tergambar di wajahnya.
Dengan berpakaian seragam putih merah lengkap, Mazmur berlari menuju sekolah dimana teman-temannya menunggu.
"Teman-teman, guru pengganti belum datang…"
Mata teman-temannya begitu kecewa. Mereka terdiam, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Ya sudah, kita menyanyi saja...," lanjut Mazmur ceria.
Lalu, berkumandanglah lagu, "Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...."
 yang dinyanyikan oleh anak-anak Papua, mengiringi keceriaan Mazmur, 
Thomas, Joakim, Agnes, dan Suryani. berlari menyusuri jalan-jalan 
kampung.
Demikianlah
 ironi yang ditampilkan pada awal film "Di Timur Matahari" karya Ari 
Sihasale. Adegan ini cukup membuat saya terenyuh. Guru pengganti tidak 
ada, tapi tidak membuat anak-anak yang haus akan pendidikan itu behenti 
tersenyum dan tertawa.
"Di
 Timur Matahari" menggambarkan realitas yang terjadi di tanah Papua. 
Mulai sulitnya mendapatkan guru untuk mengajar, listrik yang belum 
merata, hingga adat istiadat yang ingin tetap dijaga secara turun 
temurun.
Itulah
 Papua. Dalam kehidupan yang dipandang orang-orang modern sebagai sebuah
 ketertinggalan, mereka tetap hidup dengan cara mereka yang bersahaja. 
Menunggu guru pengganti bagi Mazmur, Thomas, Joakim, Agnes, Suryani bisa
 jadi merupakan penantian tak berujung. Namun, tidak ada guru yang 
mengajarkan mereka membaca, menulis, dan berhitung tidak menghentikan 
keinginan mereka untuk belajar karena belajar bisa dimana saja, dengan 
siapa saja.
Pelajaran
 mereka peroleh dari Pendeta Samuel (Lukman Sardi) dan Bu Dokter Fatima 
(Ririn Ekawati), orang-orang yang mau berbagi ilmu; tidak hanya bagi 
anak-anak Papua, juga bagi masyarakat kampung yang memang jauh dari 
pendidikan.
Adat
 istiadat yang mendarah daging juga menjadi norma dan pedoman hidup 
mutlak. Anak-anak Papua tidak hanya hidup beriringan dengan tradisi, 
tetapi juga pertikaian dan konflik. Blasius, ayah Mazmur dibunuh oleh 
Joseph, ayah Agnes. Pertikaian antar kampung tak terhindarkan. Alex, 
adik Blasius, merasa harus tetap menjalankan apa yang mereka sebut hukum
 adat, membalas dendam. Hal ini ditentang keras oleh Michael (Michael Idol Jakarimilena), kakak Alex, karena balas dendam sama artinya dengan perang.
Ada
 pun Michael adalah anak kelahiran kampung setempat yang sejak kecil 
sekolah dan (akhirnya) menikah di tanah Jawa. Pemikiran modern tentu 
lebih mendominasi hati nuraninya, sehingga ketika ia mengemukakan 
pertentangannya, hal ini dianggap Alex tidak masuk akal. Hukum adat itu 
mutlak harus dilaksanakan.
Isu
 sosial, pertikaian atau peperangan antar suku/kampung lebih mendominasi
 film ini, daripada kurangnya fasilitas listrik, kesehatan, pendidikan, 
yang juga merupakan permasalahan di Papua saat ini. Bahwa perdamaian itu
 harus dipelihara jika masyarakatnya ingin hidup lebih baik. Anak-anak 
akan terus tumbuh berkembang di tengah situasi yang sulit dan akan 
meneruskan keberadaan Papua. Kehidupan sejahtera tidak mungkin diperoleh
 jika balas dendam dan peperangan tetap terjadi.
Alenia
 memvisualisasikan pesan ini begitu indah, seindah penggambaran alam 
Perbukitan Tiom (Lanijaya, Papua), kepolosan dan keceriaan anak-anaknya,
 kearifan kehidupan masyarakat setempatnya. Seperti biasa, kekuatan 
film=film produksi Alenia tidak hanya pada cerita yang sarat pesan 
berharga, tapi juga pemandangan keindahan Indonesia yang luar biasa.
Ari Sihasale dengan transparan memperlihatkan kepada penonton Indonesia,
 bagaimana masyarakat Papua hidup sehari-hari. Anak-anak kita mungkin 
belum pernah melihat manusia memakai koteka (pakaian adat Papua), atau 
kalau pun mereka pernah melihat, mungkin melalui tayangan 
Discovery Channel
 atau kartu pos pariwisata. Tapi melalui film ini, kita (sebagai orang 
tua) bisa memperkenalkan, bahwa mereka hidup di negara yang sama dengan 
kita, di bawah bendera yang sama. Ini yang menurut saya penting untuk 
digarisbawahi, bahwa pendampingan orang tua ketika menyaksikan film ini 
bersama anak-anak penting. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk bisa 
menjelaskan mengapa konflik intern keluarga atau konflik antar manusia 
di kampung-kampung bisa terjadi. Termasuk ketika busur panah menancap di
 punggung Bapak Yakub dan Blasius ketika terjadi penyerangan. Anak-anak 
tidak mungkin bisa mencerna adegan ini sendirian.
Mereka makan tidak dengan piring, tapi menggunakan daun.
Mereka makan daging kelinci peliharaan, karena itulah yang mereka punya.
Mandi di sungai, tidak punya kamar mandi.
Dan
 itu tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap bermain dan belajar. 
Mereka tetap menjadi cerdas dengan cara mereka. Mereka bisa menyediakan 
listrik ketika Vina (Laura Basuki), istri Michael, perlu me-recharge 
telepon seluler, padahal kampung mereka tidak punya daya listrik. 
Caranya? Mereka hanya perlu mengaplikasikan ilmu yang mereka dapatkan 
secara tidak sengaja, dibumbui dengan sedikit kenakalan khas bocah.
Dengan segala keterbatasan, mereka tetap hidup dengan ceria.
Sayang,
 film ini diakhiri dengan drama berlebihan. Dua kubu yang sudah siap 
saling menyerang tiba-tiba batal berperang. Mereka kembali mundur 
setelah mendengar Mazmur, Agnes, Thomas, Suryani, seluruh anak-anak 
Papua menyanyikan lagu perdamaian di tengah kedua kelompok; diikuti oleh
 seluruh pendukung acara (Aktor dan Aktris) juga penduduk. Mereka 
menyanyi bersama, dan tiba-tiba bergandengan tangan berkeliling dalam 
bentuk lingkaran setelah menjatuhkan senjata anak panah masing-masing.
Saya
 mengerti, Ale ingin menampilkan peran anak-anak dalam perdamaian, tapi 
saya rasa, seharusnya bisa dikemas dengan lebih elegan, tidak 
didramatisir seperti ending cerita sinetron atau serial Korea. 
Terus terang, saya melihat adegan ini seperti acara sekelompok orang 
yang menyanyikan lagu legendaris Kemesraan, sambil bergandengan tangan.
Ini akhir film yang agak fals, anti klimaks.
Namun
 sepatutnya Indonesia bangga memiliki Alenia yang konsisten membuat film
 keluarga dan anak-anak. Lebih hebat lagi, Alenia juga selalu berhasil 
menemukan bakat-bakat baru, tetap memberi kesempatan anak Indonesia yang
 hidup di pedalaman/ kota kecil untuk berkarya melalui film.
Di tengah gencaran film Hollywood, Bollywood, dan aneka film Indonesia yang ala kadarnya, "Di Timur Matahari" layak menjadi hiburan pilihan untuk kita dan keluarga.
Film
 ini merupakan salah satu bahan pembelajaran bahwa beberapa ribu 
kilometer dari tempat dimana kita berada saat ini, di dalam negara yang 
sama, ada saudara-saudara kita, anak-anak Indonesia, yang masih hidup 
berdampingan dengan permasalahan yang tak terpecahkan secara 
turun-temurun; dan  akan terus seperti itu jika tidak disadarkan akan 
pentingnya menciptakan harmoni kehidupan.
"Karena memaafkan adalah pilihan yang paling sempurna daripada menyimpan akar pahit atau balas dendam."
Produced by Alenia Pictures
Executive Producer : Nia Sihasale Zulkarnaen
Director : Ari Sihasale
Line Producer : Bengky Mulyono
Screenplay : Jeremias Nyangoen
Director of Photography : Nur Hidayat
Art Director : Frans XR Paat
Sound Recordist : Dwi Budi Priyanto
Editor : Robby Barus
Sound Designer : Khikmawan Santosa
Music Illustrator : Aghi Narottama, Bemby Gusti, Dian HP
Still Photography : Sony Seniawan
Behind The Scene : Muhammad Ichsan
Cast
 : Putri Nere, Lucky Martin, Simson Sikoway, Abetnego Yogibalom, Laura 
Basuki, Lukman Sardi, Ririn Ekawati, Ringgo Agus Rahman, Michael Idol