Kamis, 11 November 2010

Abikuu...

Sedih betul rasanya
Seumur-umur, saya belum pernah punya kartu cek laboratorium. Demikian juga suami saya. Tapi pagi ini, Kamis 11 November 2010, kami membuatkan kartu tersebut atas nama anak kami, yang baru berusia 2. 5 tahun.

Ya, terpaksalah kartu tersebut dibuat, karena sejak kemarin panas Abi tidak turun juga. Bahkan cenderung naik, mulai dari 38.1C, kemudian 38.8 C, sampai terakhir 39.2 C.
Setelah seluruh upaya 'rumahan' yang biasanya dilakukan terasa tidak membuahkan hasil, kami bawa juga ke dokter. Menurut dokter, ada baiknya cek darah.

Saya bukan tipe ibu yang panikan begitu mendengar cek darah / cek urin/ atau periksa lab/ dan sebagainya. Tapi saya mengerti, ada diagnosa serius. Tidak sekedar radang atau demam 'mau pinter' biasa.

Ah, Abiku...
Mami merasa kamu tidak apa-apa kok Nak... Kamu hanya terlalu senang bermain, sehingga Tuhan mengingatkan supaya kamu juga harus cukup istirahat.

Beberapa jam lagi hasil lab kamu keluar...Mami yakin, tidak ada yang serius...karena tadi pagi (2 jam sebelum kamu cek darah), kamu sudah mulai bikin kami 'sibuk' lagi dengan tingkahmu....


Huuuft!
Cepat sembuh, Abiku....
Mami sudah kangen celotehmu, nyanyianmu, kegokilanmu...
Kalau kamu sembuh, Mami janji gak akan protes kalo kami main kuda2an & slide di perut Mami, dah... (^_^)\/



                                                                               We love you, Son!
                                                                                         *Hugs*

Selasa, 09 November 2010

Doa Pagi (Lagi)

Sudah beberapa hari ini aku absen doa pagi. Jadi, pagi ini kuputuskan untuk kembali melakukan rutinitas mulia tersebut.
Segera, kulipat selimut, minum air putih, mengambil buku doa, dan duduk dengan manis di atas tempat tidur, di samping anakku yang sudah mulai menggeliat bangun.

"Doa pagi...halaman berapa sih yak?" tanyaku dalam hati. Lampu memang sengaja tidak kunyalakan, karena takut membangunkan paksa anakku yang baru berusia 2.5 tahun.

"Ah, ini dia..."
Dan dengan penuh khusyuk, aku pun berdoa. Membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di sana.

Baru setengah bagian, tiba-tiba,
"Mami?" Anakku terbangun dan memandang wajahku. Lama sekali.
"Mami?"
"Kok berdoa gak tutup mata?" tanyanya sambil menatap ke arahku.
Aku mencoba tetap berkonsentrasi untuk menghabiskan seluruh doa. Pertanyaannya spontan. Tapi untunglah, dia sabar menanti hingga aku selesai.

Setelah usai, aku tak kuat menahan tawa. "Abiiiiii...yak amppunnn, untung mami masih bisa selesaikan doanya!"
"Mami, kok gak tutup mata sih?" tanyanya menanti penjelasan.
"Iya, kan mami sambil baca di buku..."
"Ooo, kayak baca story ya, harus buka mata."

Ya, seperti itulah...seperti kalo kita baca buku cerita, Nak.
"Iya, Bi."

Aku menanti pertanyaan berikutnya. Masih adakah yang kurang jelas, dari 'doa sambil buka mata' ini?
"Abi udah berdoa belum?"
"Belum."
"Mau doa gak?"
"Gak. Maunya susu sama Baby TV."
"Ok."
Saya tipe emak-emak yang enggan memaksakan kehendak.

Sesaat kemudian, saya kembali ke kamar dengan sebotol susu hangat untuk sang buah hati.

Dalam perjalanan ke tempat kerja, saya berdoa kembali dalam hati (kali ini sambil menutup mata), "Tuhan, terima kasih untuk keluarga kecilku, yang sangat luar biasa. Merekalah semangatku untuk tetap menjadi manusia yang terus bertumbuh lebih baik dari waktu ke waktu, hari ke hari, detik ke detik. Amin."


Happy Tuesday, everyone!





Kamis, 07 Oktober 2010

A Barefoot Dream (True Story)

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Kim Won Gwang (Park Hie Sun) adalah seorang pelatih sepak bola asal Korea yang ingin memulai peruntungan di sebuah negara kecil yang baru merdeka, Timor Timur. Melihat minat masyarakat setempat terhadap sepak bola begitu besar, juga dibantu oleh Kedutaan Besar Korea di Timor Timur Park In-Gi (Ko Chang Seok), ia akhirnya membuka sebuah toko alat olahraga. Bisnis ini rupanya bukan ide yang baik, karena saat itu perekonomian negara tersebut belum stabil.

Tak hilang akal, Kim menjajakan dagangannya secara langsung, atau direct selling. Ia menganjurkan anak-anak setempat (yang suka bermain bola) untuk memakai sepatunya. Mereka bisa membayar dengan cara mencicil $1 setiap harinya, selama 2 bulan. Hal ini ia lakukan tidak hanya supaya ia bisa mendapatkan keuntungan, tapi juga karena rasa belas kasihan terhadap mereka yang sangat berbakat namun tak memiliki sepatu bola yang bisa menunjang permainan mereka. Anak-anak senang, bisa punya sepatu, walaupun mereka harus bekerja lebih keras mendapatkan uang untuk membayar cicilan.

Dibalik kesenangan mereka, ada seorang pemuda setempat yang tidak suka dengan tindakan Kim. Ia menganggap Kim telah membodohi anak-anak dan memeras mereka. Kim berusaha memberi pengertian, karena ia sangat perduli terhadap bakat mereka. Mereka tentu saja tidak bisa bermain bola dengan baik, tanpa sepatu.
Pemuda itu kemudian menantang Kim untuk membuktikan omongannya. Bila tim Kim menang, ia bisa bermain di lapangan tempat mereka berlatih seperti biasa, kalo tim Kim kalah, Kim harus angkat kaki dari tanah mereka. Tawaran ini, tentu saja disambut Kim dengan senang hati. Ia sangat yakin, timnya akan menang.

Kim meminta waktu 10 hari untuk melatih mereka. Selama 10 hari, Ia melatih tim nya habis-habisan. Setelah melalui proses perekrutan, dilanjutkan dengan latihan fisik. Latihan fisik artinya berlatih secara teknik dan melatih otot-otot. Hal inilah yang tidak dimengerti anak-anak. Mereka hanya tahu bermain bola. Mengoper bola, mencoba membuat gol ke gawang lawan. Mereka mulai lelah dan tidak mengerti mengapa mereka harus melakukan ini semua. Seharusnya, bermain bola menjadi aktifitas yang menyenangkan. Namun, yang mereka alami justru sebaliknya.

Dan pada hari H, tim Kim harus kalah dengan tim setempat. Pertandingan pun diwarnai dengan baku hantam antara Ramos (Francisco Frenque Amaral Borges Martins Varela) dari tim lawan dan Mottavio (Fernando Almeida Do Carmo Bucar Pinto) dari timnya sendiri. Mottavio tumbang. Menurut analisa dokter, ia juga menderita kekurangan gizi, sehingga mengganggu penglihatannya.

Kim begitu sedih. Bukan hanya karena kekalahan tim nya, tetapi juga kenyataan yang baru didengarnya bahwa perkelahian yang terjadi sebenarnya telah dimulai sejak dulu. Dendam antara Ramos dan Mottavio mungkin tidak akan pernah tertuntaskan. Karena ayah Ramoslah yang membunuh ayah Mottavio. Kesedihanya tak berlangsung lama, karena ia memiliki ide untuk merekrut Ramos menjadi anggota timnya. Kim merasa bahwa Ramos memiliki bakat yang luar biasa, yang sangat sayang bila tak dibina. Kim pun memberanikan diri untuk datang ke rumah Ramos, yang notabene adalah adik dari pemuda setempat yang menantangnya bertanding. Walaupun (tentu saja) ditentang habis2an oleh sang kakak, namun Kim mengajak untuk menjadi realistis, karena masa depan Ramos sangat tergantung dari anak itu sendiri. Kim meminta Ramos untuk memikirkan baik-baik tawaran tersebut, dan bahkan menjanjikan Ramos untuk bisa meningkatkan permainannya sehingga bisa bergabung di pro Indonesia.

Namun masalah belum berakhir. Bentrokan yang terjadi di Timor Timur pada malam harinya, menyeret Kim ke sebuah persoalan hukum. Seorang pengusaha yang ditolongnya justru malah mempersoalkan hutang piutang Kim yang tersisa dan belum dibayar.

Park akhirnya menganjurkan Kim untuk kembali ke Korea sebelum ia dideportasi. Di Korea ia memiliki tawaran yang lebih menjanjikan, yaitu mengajar sepak bola di sebuah sekolah.Setelah melalui pergumulan yang tak mudah, Kim akhirnya memutuskan untuk kembali ke Korea. Namun, sesaat sebelum ia memasuki ruang tunggu di bandara, seorang anak memberitahunya bahwa Ramos sedang berurusan dengan polisi. Kim menemui Ramos dengan tergesa. Ia ditangkap untuk tuduhan mencuri radio. Radio tersebut akan dia jual, untuk membiayainya ke Hiroshima, bertanding sepakbola di International Youth Soccer Championship.

Ya, Kim sebenarnya sedang mempersiapkan anak-anak untuk bisa ke Hiroshima. Namun, semua itu tentu hanya akan menjadi mimpi bila mereka tidak punya uang. Kim terhenyak mendengar alasan Ramos. Seketika dia merasa sangat bersalah. Meninggalkan Timor Timur tentu sama saja dengan mengubur impian mereka. Tidak ada seorang pun yang perduli dengan cita-cita mereka. Hanya Kim!

Akhirnya Kim tetap tinggal di Timor Timur. Melatih anak-anak dengan keras dan penuh disiplin. Menggalang dana, mencari sponsor, dan tentu saja, menyelesaikan perkara hukumnya secara kekeluargaan.

Hasilnya? Tim Timor Timur berhasil menggalang dana, mendapatkan sponsor untuk membiayai mereka ke Hiroshima, dan memenangkan pertandingan dengan skor 3-2 atas Jepang.


-------()()()------

"A Barefoot Dream" (sekali lagi) adalah bukti kekuatan sebuah mimpi. Hal ini jelas sekali tergambar dalam film berdurasi 121 menit ini. Film ini sangat transparan dalam menerjemahkan arti 'keyakinan' dan 'kerja keras.'
Banyak orang terjebak untuk hanya memiliki keyakinan tinggi yang selangit, namun enggan bekerja keras dan berdisiplin.

Dalam film ini, yang memiliki keyakinan justru adalah orang asing. Dia tidak hanya memiliki keyakinan, tapi juga mau bekerja keras untuk membantu mewujudkan mimpi anak-anak yang notabene 'asing' di matanya. Pertanyaannya, "Mengapa?"
Apa sebenarnya yang dia inginkan? Uang, jelas bukan jawabannya. Untuk mencicil sepatu sepak bola saja anak-anak itu tidak mampu. Lalu?

Ketika hati sudah berbicara, tidak ada yang bisa menentangnya. Sebuah niatan sederhana: memberikan sepatu bola supaya bisa bermain bola dengan baik, menjadi langkah awal perwujudan mimpi anak-anak Timor Timur. Dari yang hanya sekedar mimpi untuk bisa bermain di Pro Liga Indonesia, mereka bisa bermain di 'arena' lebih besar, International Youth Soccer Championship.



Sebagai seorang guru, saya banyak belajar dari film ini. Bagaimana agar sebagai seorang 'fasilitator' bisa mengakomodir bakat-bakat terpendam dari anak-anak. Juga menjadi 'penengah' dalam masalah internal yang ada antara anak-anak. Bagaimana mengajak Ramos dan Mottavio untuk sama-sama menuntaskan dendam mereka. Melalui film ini lah, saya sekali lagi diyakinkan, bahwa kita tidak mungkin menghindari masalah. Hadapi saja, deal with it!

Terbersit rasa haru ketika Kim sedikit-sedikit mencampur beberapa kata dalam Bahasa Indonesia di tengah-tengah kalimat dalam Bahasa Korea dan Inggris. Bahasa Indonesia pertama yang terdengar darinya dalam film ini adalah 'sepatu sepak bola.' Kabarnya, untuk kepentingan pembuatan film ini, Park Hie Sun memang sengaja belajar Bahasa Indonesia. Dalam film ini, memang cukup terlihat bagaimana ia berusaha agar bahasa 'campur aduk' itu bisa dimengerti oleh masyarakat setempat. Caranya mengekspresikan merupakan adegan-adegan yang kadang mengundang tawa.

Beberapa adegan dramatis juga mewarnai film ini, dan (bagi saya) cukup menguras air mata. Salah satunya adalah ketika Kim merelakan seluruh uang yang dimilikinya untuk menebus radio yang dicuri Ramos. Dalam adegan itu, terlihat juga kakak Ramos yang sudah pincang (akibat bentrokan yang terjadi), memohon si empunya radio (orang asing) untuk mengampuni Ramos. Ia bersedia untuk bekerja padanya hingga radio itu bisa ditebus oleh upahnya. Ia berlutut dengan kepala menunduk, sementara Kim yang juga berlinangan air mata di belakangnya tertawa pahit. Bagaimana mungkin dia bisa bekerja dengan keadaan cacat seperti itu? Saat itulah, ia merelakan uangnya untuk pemilik radio.
Momen ini yang membuat kakak Ramos terbuka hatinya dan berhenti membenci Kim. Dia mulai mengerti, Kim memang tidak bemaksud main-main dalam berinteraksi dengan anak-anak setempat, termasuk adik kandungnya.

Adegan haru lainnya juga tampak ketika pertandingan di Hiroshima berlangsung. Seluruh lapisan masyarakat di Timor Timur tak ingin kehilangan momen untuk mengikuti reportase langsung dari radio lokal setempat. Mulai dari keluarga dari anak-anak yang bertanding, sekolah tempat mereka belajar, hingga pemimpin negara mereka, Xanana Gusmao. Detik demi detik pertandingan dilaporkan hingga pada detik terakhir yang sangat menentukan kemenangan. Dan ketika gol terakhir tercipta, semua bersorak-sorai, bendera Timor Timur berkibar dimana-mana, euphoria masyarakat begitu tergambar dalam scene demi scene.

Menanamkan semangat dan daya juang memang merupakan 'investasi' yang paling berharga. Karena dengan demikian, mereka bisa tetap fokus pada mimpi mereka.
Dengan mimpi, hidup kita akan tetap memiliki tujuan. Dengan tujuan hidup, kita akan lebih mengerti apa yang harus kita kerjakan untuk menuju kesana.
Dengan mimpi dan kerja keras, tidak ada yang tidak mungkin. Bahkan postur tubuh yang tak ideal untuk menjadi seorang pemain sepak bola pun, dengan kerja keras, bisa menjadi penentu kemenangan pertandingan di detik-detik terakhir.

Ada banyak film yang mengangkat tema serupa, tentang kekuatan sebuah mimpi. "A Barefoot Dream" menawarkan cita rasa sedikit berbeda, dimana kekuatan mimpi itu justru dimiliki oleh orang lain, yang asing, yang sama sekali 'bukan orang segolongan.' Tidak hanya memiliki mimpi, orang asing ini pun mau berjuang bersama, untuk mewujudkan mimpi itu.

Bermimpilah! Tidak perlu biaya dan tidak berisiko.
Ups, maaf....ada satu risikonya: terwujud!


"Who says you can't dream when you're poor?"




Directed by Kim Tae-gyoon (김태균)

Park Hie Sun as Kim Won Gwang

Ko Chang Seok as Park In-Gi

Francisco Frenque Amaral Borges Martins Varela as Ramos

Fernando Almeida Do Carmo Bucar Pinto as Mottavio