Sabtu, 01 Desember 2012

Pindah ke Blogger

Sejak tahun 2003, saya belajar menulis untuk orang lain, menulis apa saja. Mulai dari curahan hati sehari-hari sampai review album musik dan film. Biasanya saya menulis untuk diri sendiri, kemudian saya ditantang oleh seorang teman untuk menulis di dunia maya.

Menulis di dunia maya tidak gampang bagi saya karena bisa dibaca semua orang hingga orang-orang yang tidak kita kenal. Tapi lama kelamaan jadi asyik juga. Melalui akun tersebut, saya kenal teman baru, dan diskusi banyak hal yang sebelumnya asing bagi saya. 

Beberapa bulan lalu, terdengar kabar kalau blog pribadi di domain tersebut akan ditutup dan diganti menjadi domain yang khusus untuk berjualan. Walah, ketika saya cek... ternyata kotak surat saya sudah penuh dengan 'surat cinta' dari pemilik domain, dengan beberapa instruksi untuk menyelamatkan postingan. Saya cukup kapok ketika beberapa foto dan notes saya hilang dari Friendster beberapa waktu lalu, sementara saya tidak menyimpan file cadangan di PC saya. :'(
Segera saya impor seluruh tulisan saya, juga album-album foto yang saya buat di blog tersebut. Linknya tersedia di salah satu sudut blog saya ini.

Jadi, inilah postingan pertama saya di blogger. Memang bukan domain seperti yang saya miliki dulu dimana saya juga bisa membuat album foto dan posting video dalam satu akun. Tapi, setidaknya blogger bisa menyimpan file-file saya sesuai tanggal postingan yang asli.

Okesip. I'm a newbie in Blogger.
^_^

Sabtu, 17 November 2012

Review: "Di Timur Matahari" Konflik dalam Kehijauan Papua



1340258621788221852



Mazmur (Simson Sikoway), menanti di sebuah lapangan terbang tua, satu-satunya penghubung kampung dengan dunia di luar sana. Bapak Yakub, seorang penjaga usia lanjut yang masih menjaga tradisi dengan kuat, melihat bagaimana kegelisahan Mazmur tergambar di wajahnya.
Dengan berpakaian seragam putih merah lengkap, Mazmur berlari menuju sekolah dimana teman-temannya menunggu.
"Teman-teman, guru pengganti belum datang…"
Mata teman-temannya begitu kecewa. Mereka terdiam, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Ya sudah, kita menyanyi saja...," lanjut Mazmur ceria.
Lalu, berkumandanglah lagu, "Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...." yang dinyanyikan oleh anak-anak Papua, mengiringi keceriaan Mazmur, Thomas, Joakim, Agnes, dan Suryani. berlari menyusuri jalan-jalan kampung.



Demikianlah ironi yang ditampilkan pada awal film "Di Timur Matahari" karya Ari Sihasale. Adegan ini cukup membuat saya terenyuh. Guru pengganti tidak ada, tapi tidak membuat anak-anak yang haus akan pendidikan itu behenti tersenyum dan tertawa.



"Di Timur Matahari" menggambarkan realitas yang terjadi di tanah Papua. Mulai sulitnya mendapatkan guru untuk mengajar, listrik yang belum merata, hingga adat istiadat yang ingin tetap dijaga secara turun temurun.



Itulah Papua. Dalam kehidupan yang dipandang orang-orang modern sebagai sebuah ketertinggalan, mereka tetap hidup dengan cara mereka yang bersahaja. Menunggu guru pengganti bagi Mazmur, Thomas, Joakim, Agnes, Suryani bisa jadi merupakan penantian tak berujung. Namun, tidak ada guru yang mengajarkan mereka membaca, menulis, dan berhitung tidak menghentikan keinginan mereka untuk belajar karena belajar bisa dimana saja, dengan siapa saja.


Pelajaran mereka peroleh dari Pendeta Samuel (Lukman Sardi) dan Bu Dokter Fatima (Ririn Ekawati), orang-orang yang mau berbagi ilmu; tidak hanya bagi anak-anak Papua, juga bagi masyarakat kampung yang memang jauh dari pendidikan.

Adat istiadat yang mendarah daging juga menjadi norma dan pedoman hidup mutlak. Anak-anak Papua tidak hanya hidup beriringan dengan tradisi, tetapi juga pertikaian dan konflik. Blasius, ayah Mazmur dibunuh oleh Joseph, ayah Agnes. Pertikaian antar kampung tak terhindarkan. Alex, adik Blasius, merasa harus tetap menjalankan apa yang mereka sebut hukum adat, membalas dendam. Hal ini ditentang keras oleh Michael (Michael Idol Jakarimilena), kakak Alex, karena balas dendam sama artinya dengan perang.

Ada pun Michael adalah anak kelahiran kampung setempat yang sejak kecil sekolah dan (akhirnya) menikah di tanah Jawa. Pemikiran modern tentu lebih mendominasi hati nuraninya, sehingga ketika ia mengemukakan pertentangannya, hal ini dianggap Alex tidak masuk akal. Hukum adat itu mutlak harus dilaksanakan.

Isu sosial, pertikaian atau peperangan antar suku/kampung lebih mendominasi film ini, daripada kurangnya fasilitas listrik, kesehatan, pendidikan, yang juga merupakan permasalahan di Papua saat ini. Bahwa perdamaian itu harus dipelihara jika masyarakatnya ingin hidup lebih baik. Anak-anak akan terus tumbuh berkembang di tengah situasi yang sulit dan akan meneruskan keberadaan Papua. Kehidupan sejahtera tidak mungkin diperoleh jika balas dendam dan peperangan tetap terjadi.

Alenia memvisualisasikan pesan ini begitu indah, seindah penggambaran alam Perbukitan Tiom (Lanijaya, Papua), kepolosan dan keceriaan anak-anaknya, kearifan kehidupan masyarakat setempatnya. Seperti biasa, kekuatan film=film produksi Alenia tidak hanya pada cerita yang sarat pesan berharga, tapi juga pemandangan keindahan Indonesia yang luar biasa.

Ari Sihasale dengan transparan memperlihatkan kepada penonton Indonesia, bagaimana masyarakat Papua hidup sehari-hari. Anak-anak kita mungkin belum pernah melihat manusia memakai koteka (pakaian adat Papua), atau kalau pun mereka pernah melihat, mungkin melalui tayangan Discovery Channel atau kartu pos pariwisata. Tapi melalui film ini, kita (sebagai orang tua) bisa memperkenalkan, bahwa mereka hidup di negara yang sama dengan kita, di bawah bendera yang sama. Ini yang menurut saya penting untuk digarisbawahi, bahwa pendampingan orang tua ketika menyaksikan film ini bersama anak-anak penting. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk bisa menjelaskan mengapa konflik intern keluarga atau konflik antar manusia di kampung-kampung bisa terjadi. Termasuk ketika busur panah menancap di punggung Bapak Yakub dan Blasius ketika terjadi penyerangan. Anak-anak tidak mungkin bisa mencerna adegan ini sendirian.




Mereka makan tidak dengan piring, tapi menggunakan daun.
Mereka makan daging kelinci peliharaan, karena itulah yang mereka punya.
Mandi di sungai, tidak punya kamar mandi.
Dan itu tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap bermain dan belajar. Mereka tetap menjadi cerdas dengan cara mereka. Mereka bisa menyediakan listrik ketika Vina (Laura Basuki), istri Michael, perlu me-recharge telepon seluler, padahal kampung mereka tidak punya daya listrik. Caranya? Mereka hanya perlu mengaplikasikan ilmu yang mereka dapatkan secara tidak sengaja, dibumbui dengan sedikit kenakalan khas bocah.
Dengan segala keterbatasan, mereka tetap hidup dengan ceria.



Sayang, film ini diakhiri dengan drama berlebihan. Dua kubu yang sudah siap saling menyerang tiba-tiba batal berperang. Mereka kembali mundur setelah mendengar Mazmur, Agnes, Thomas, Suryani, seluruh anak-anak Papua menyanyikan lagu perdamaian di tengah kedua kelompok; diikuti oleh seluruh pendukung acara (Aktor dan Aktris) juga penduduk. Mereka menyanyi bersama, dan tiba-tiba bergandengan tangan berkeliling dalam bentuk lingkaran setelah menjatuhkan senjata anak panah masing-masing.


Saya mengerti, Ale ingin menampilkan peran anak-anak dalam perdamaian, tapi saya rasa, seharusnya bisa dikemas dengan lebih elegan, tidak didramatisir seperti ending cerita sinetron atau serial Korea. Terus terang, saya melihat adegan ini seperti acara sekelompok orang yang menyanyikan lagu legendaris Kemesraan, sambil bergandengan tangan.
Ini akhir film yang agak fals, anti klimaks.

Namun sepatutnya Indonesia bangga memiliki Alenia yang konsisten membuat film keluarga dan anak-anak. Lebih hebat lagi, Alenia juga selalu berhasil menemukan bakat-bakat baru, tetap memberi kesempatan anak Indonesia yang hidup di pedalaman/ kota kecil untuk berkarya melalui film.

Di tengah gencaran film Hollywood, Bollywood, dan aneka film Indonesia yang ala kadarnya, "Di Timur Matahari" layak menjadi hiburan pilihan untuk kita dan keluarga.

Film ini merupakan salah satu bahan pembelajaran bahwa beberapa ribu kilometer dari tempat dimana kita berada saat ini, di dalam negara yang sama, ada saudara-saudara kita, anak-anak Indonesia, yang masih hidup berdampingan dengan permasalahan yang tak terpecahkan secara turun-temurun; dan  akan terus seperti itu jika tidak disadarkan akan pentingnya menciptakan harmoni kehidupan.

"Karena memaafkan adalah pilihan yang paling sempurna daripada menyimpan akar pahit atau balas dendam."


Produced by Alenia Pictures
Executive Producer : Nia Sihasale Zulkarnaen
Director : Ari Sihasale
Line Producer : Bengky Mulyono
Screenplay : Jeremias Nyangoen
Director of Photography : Nur Hidayat
Art Director : Frans XR Paat
Sound Recordist : Dwi Budi Priyanto
Editor : Robby Barus
Sound Designer : Khikmawan Santosa
Music Illustrator : Aghi Narottama, Bemby Gusti, Dian HP
Still Photography : Sony Seniawan
Behind The Scene : Muhammad Ichsan
Cast : Putri Nere, Lucky Martin, Simson Sikoway, Abetnego Yogibalom, Laura Basuki, Lukman Sardi, Ririn Ekawati, Ringgo Agus Rahman, Michael Idol



Minggu, 17 Juni 2012

Our First Movie: Madagascar 3

Hari ini, Minggu 17 Juni 2012, kami berdua nonton di Metropole XXI, Jakarta. Siang itu aku berencana mengajak Abi untuk nonton Madagascar 3. Ini adalah nonton di bioskop untuk yang pertama kalinya buat Abi. Ya, dia sudah 4 tahun, dan sudah waktunya aku ajak ke bioskop. Sebenanya, sudah sejak lama aku ingin ngajak Abi, tapi sepertinya dia belum siap, karena dia selalu protes setiap mendengar suara sound system yang terlalu kencang, dan lagi aku gak yakin apakah dia bisa duduk tertib selama durasi film yang cukup panjang. Tapi hari ini, juga untuk memulai kebersamaan kami selama sebulan karena sedang libur sekolah, aku ingin merayakannya dengan nonton di bioskop!

Aku memilih film Madagascar 3, karena ini adalah tontonan anak2 yang cukup lucu, dan aku pikir Abi bisa mengerti lelucon2nya. 2 seri sebelumnya cukup menghibur (walaupun Ice Age tetap JUARAnya lucu, tapi Madagascar cukup oke lah). Ketika sampai di Metropole, Abi tampak senang, semangat, dan gak sabar masuk ke dalam teater. Dia minta izin untuk memegang tiket, dan bertanya apa yang tercantum di tiket itu. Aku menjelaskan, kita akan duduk di H5-H6, dan masuk teater 4. Sambil menunggu panggilan masuk, Abi menikmati suasana yang remang-remang dan berbau sangat popcorn. Dia memang senang makan popcorn, dan aku menawarkan dia popcorn kemasan kecil, sambil wanti-wanti berulang kali harus minum air putih yang banyak atau dia akan batuk2.

Panggilan sudah terdengar, dengan berlari kecil dia menuju teater 4. Semangat sekali. Dia menyerahkan tiket, lalu menggandeng tanganku untuk segera mencari tempat duduk. Kami duduk di tempat yang ditentukan, dan komentar pertamanya adalah, "Wowwww...tivinya gede banget!"
Hahaha.....

Semua tampak baik-baik saja hingga 25 menit kemudian, Abi berbicara dengan nada agak keras, "Mami, aku mau pulang sekarang."
Segera ku'halangi' dengan menawarkan kentang goreng dan dia setuju. Kami keluar membeli kentang goreng, dan kembali masuk. Aku berharap dia bisa bertahan sedikit lagi sambil menghabiskan 'rayuan' kentang goreng.

Selama sisa durasi film, beberapa kali dia bertanya, "Sudah selesai ya, Mami?" atau "Is it the end?" Aku hanya bisa berharap semoga penonton di sekitar kami (yang tampak serius nonton) tidak terganggu dengan pertanyaan bocah seperti ini :D

Seiring dengan lagu Fire Works dari Katy Perry yang menjadi soundtrack film ini, film berakhir. Abi berdiri di atas tempat duduknya, menari dengan atraktif, sambil mencoba mengikuti lirik lagu.

Dia terlihat senang. Aku lebih senang. Agenda kami hari ini sudah terlaksana: nonton film di bioskop. Bahagia rasanya, berjibaku dengan anakku yang baru pertama kali ke bioskop. Aku sibuk mensiasati bagaimana supaya dia bisa menikmati durasi film yang cukup  panjang dan dia sibuk mengomentari adegan2 lucu yang terjadi. Yang lebih membahagiakan lagi, kami bisa tertawa bersama, menikmati adegan-adegan lucu di film itu.

Sesampai kami di rumah, sebelum tidur siang, dia bilang (ntah bercanda ntah tidak), "Mami, aku mau ke Madagascar, mau terbang-terbang kayak di sirkus."



Selamat berlibur!
(^_^)"

Jakarta, June 2012.



Jumat, 11 Mei 2012

Fem....

Halim Perdanakusuma, 10 mei 2012

Aku sampai jam 5 sore. 24 jam setelah aku mendengar kabar itu dari Jhony, teman sekelasmu waktu kelas 1 SMA dulu.
Sudah menunggu kawan2 dekatmu yang tak lelah mengikuti kabar terakhir tentang sukhoi Super Jet 100 yg kau tumpangi.

Femi, selama di ibukota, beberapa kali kesempatan kita bertemu. Yang pertama, ketika kamu menjemput Eny di Plasa Senayan. Saat itu Eny dan Icha baru tiba dari Malang untuk ngurus visa dan mereka akan bermalam di kos mu. Aku juga di sana untuk ngobrol-ngobrol dengan Eny. Lama ga ketemu, aku senang bisa berjumpa lagi. Kamu tidak berubah. Hanya terlihat sedikit lebih tembem.
Yang kedua, di sebuah warung kopi di bilangan tebet. Kamu memberiku sebuah buku doa. Dan di kartu kecil itu kamu tuliskan, "Do your best, let God do the rest."
Kamu memberiku semangat untuk pergumulan hidup yang sedang kualami saat itu (hingga kini). Setengah tak percaya, kamu memberiku buku doa Fem. Apa kamu sendiri pernah memakai buku itu? Hehe.
Tapi waktu itu kamu bilang "Ini buat kamu," dan aku cuma bisa bilang terima kasih dengan ekspresi agak bingung.
Tidak sering bertemu memang. Namun, kita tetap saling menyapa di dunia maya. Mengomentari kelucuan-kelucuan hidup yang terjadi di sekitar kita.

Di suatu subuh, aku curhat di twitter. Aku mencantumkan ikon wajah menangis. Kamu membalasnya dengan, "Whazz up, girl?"
Aku reply dengan jawaban diplomatis juga menanyakan kenapa kamu blm tidur.
Itu adalah kontak kita terakhir. 19 April. Setelah itu, aku hanya membaca postingan2 di blogmu saja.
Fem, memang ga banyak waktu kita untuk saling mengenal, 17 thn. Tapi hal-hal kecil dan mengejutkan yang terjadi akhir-akhir ini, membuatku merasa bahagia. Dan aku ingin tetap merasakan kebahagiaan itu. Aku ingin tetap bisa melihat wajah tembem berminyakmu.
Sore ini, aku dan teman-teman menanti kabar baik darimu. Kami masih punya harapan. Karena kamu orang yang kuat.


Sip.
Hang in there, girl!

Sabtu, 11 Februari 2012

Suatu Sore di Balikpapan

Ada yang istimewa di liburan akhir tahun kemarin.
Setelah 7 tahun gak ketemu, akhirnya ketemu lagi sahabat gila jaman SMP dulu, Hafiz (bukan nama sebenarnya).

Usianya sebaya denganku. Perawakannya saat ini agak 'bongsor' jika dibandingkan 7 tahun lalu. Perutnya agak buncit, tanda kemakmuran mendadak yang dialaminya, rambut gondrong, dan gaya bicara seperti banci.

Aku agak kaget begitu dia datang dengan menyetir mobilnya. Dia pernah bersumpah gak pernah mau menyetir mobil, karena dia gak mau stress di jalan dan dia yakin, semiskin-miskinnya dia, pasti masih bisa mempekerjakan seorang supir untuk mengantarnya kemana-mana.

Okey. And people change, of course.

Aku senang bisa bertemu Hafiz lagi. Teman menggila setiap akhir tahun (karena aku cuma bisa pulang di akhir tahun) dan hura-hura di malam tahun baru.

Beberapa kali pada malam tahun baru, kami lewatkan dengan ke disko dan tiup terompet sepanjang jalan..Pernah kami check-in 1 kamar untuk 4 orang, dan aku perempuan satu-satunya.
Jangan khawatir, kami hanya mencari tempat untuk senang-senang main kartu dan mampir ke bar sejenak untuk merayakan pergantian tahun. Kami gak mungkin main kartu di pinggir jalan yang penuh sesak manusia kan?
Setelah lewat jam 12, barulah kami ke bar hotel yang telah usai 'counting down.' Gratis! karena acaranya sudah kelar. Hehehe
Lalu kami ajojing sampai pagi.

Ya, itulah kami beberapa tahun lalu, para kaum hedon. Dan hingga kini aku masih bisa menangkap ke-hedon-an itu di hidupnya. Ntah benar atau tidak, aku merasa Hafiz harus mempertahankan itu demi karirnya sebagai make-up artist yang baru merambah Ibukota.

Bertemu dan bertukar cerita lagi dengannya, membuatku 'kembali' sejenak pada kehidupanku dulu. Dan Hafiz agak terperangah dengan kehidupanku saat ini. Ia tidak menyangka aku bisa membesarkan seorang anak.

"Ngelahirin sih gw yakin lo bisa, Lin. Tapi ngerawatnya?? Ckckckc...bisa juga lo?" Demikian kata-katanya ketika melihat aku berjibaku dengan Abi di mobilnya. Tak lama, ia melanjutkan kalimatnya, "Tapi teteuuuupppp dong bo!!! Kuku harus berwarna! Wowwww...there you go, Linda!!!" Demikian ia mengungkapkan kelegaannya ketika melihat beberapa elemen hidupku tidak berubah.

"Inget ya, Lin. Kita hidup tetep harus jadi diri kita sendiri. OK!"
"You can count on me for that, Hafiz," kataku. "Kayak elu kan? Gak berubah blas? Tetep aja cibai kayak dulu ! Btw,  Kok lo gak jadi kawin sih sama cewek Bali waktu itu?"
"Gak cinta, Lin. Buat apa? Buat status doang? Gw udah bahagia kok sama hidup gw sekarang."
"Jadi lo positip gak kawinin si Deddy?"
"Eh, dia kali yang harus kawinin gw! Hahahaha...."tawanya lepas hingga teman-teman di belakang protes karena pengang.

Deddy adalah pasangannya yang sudah dipacarinya selama 10 tahun. Aku belum pernah bertemu Deddy, tapi namanya akrab di telinga.
"Gw gak mau muna, Lin. Gw cuma  mau hidup jujur. Januari gw bakal bikin final statement ke bonyok  tentang gw. Supaya mereka stop jodohin gw sama pere..."

Aku senang mendengarnya. Akhirnya, Tante Lies, yang juga temen akrab mami, memang harus menerima kenyataan ini setelah sekian lama menolaknya.

Terima kasih kawan.
Sesorean saat itu menjadi begitu menyenangkan.
Tuhan besertamu.