Selasa, 03 Desember 2013

[Cerita Foto] Welcoming December

Saya sudah berjanji pada Abi untuk memasang pohon natal sepulang kami dari gereja pada hari Minggu kemarin. Sayang, rencana jadi tertunda, karena sumur di rumah kontrakan rusak lagi, jadi saya harus ngangsu air dari tetangga.

Pagi ini, sebelum berangkat mengajar, Abi kembali mengingatkan saya tentang pohon natal. Saya mengiyakan dan meyakinkannya, hari ini pasti jadi.

Pukul 4 sore, langit agak gelap menyelimuti Kemang, Jakarta Selatan. Saya bergegas membereskan meja, seketika setelah surat elektronik terakhir terkirim. Saya mematikan AC dan lampu, meyakinkan kembali materi untuk besok ready to go, lalu meninggalkan kelas. Tergesa saya menuju parkiran lalu melaju menuju Jakarta Timur. Saya berharap tidak sampai kehujanan, karena di sepanjang jalan kilat tampak menghias langit yang makin gelap.

Puji Tuhan, dalam waktu kurang dari 1 jam sampai juga saya di rumah. Abi menyambut kedatangan saya dengan penuh keriangan, "Horeee, mami pulang! Kita bisa pasang pohon natal!"
Abi langsung sibuk ketika saya mulai mengeluarkan pohon natal dan aksesorisnya satu per satu.

"Mami, ini benangnya putus, nih."
"Mami, aku boleh keluarin yg hiasan beling gak?"
"Aku aja yang gantung hiasan sinterklas ya, ini buat anak kecil. Mami kan sudah tua."
Cerewet sekali!
Saya mengambil alih pemasangan lampu, ketika melihat Abi sudah terlihat memilah-milah hiasan yang berwarna-warni.

"Aku aja yang pasang tinselnya. Aku bisa kok."
"Jangan foto dulu! Belum selesai, nih!"
"I will be as tall as this christmas tree one day. Right, Mum?"
"Hmm.., kayanya ada yang 'gak pas,' nih."
"Tambahin hiasan di sebelah sini deh, biar pohonnya gak miring."
(Masih berkutat dengan 'kemiringan' pohon)


Tak lama kemudian, tararaaaaaa.... jadilah pohon natal kami!


"Nah, sekarang waktunya take a picture! Close-up, ya."



 

"Eh, bentar dulu.... kurang 1 lagi, nih."


Walah, masih ada yang ketinggalan, rupanya. Abi menemukan tinsel silver kecil di bawah pohon natalnya.

"Sudah, Bi?"
"Bentar dulu. Susah, nih yang kecil. Jatuh-jatuh melulu," jawabnya tanpa menoleh. Ia tampak memainkan jemarinya mengikat, mengaitkan, memberikan final touch dengan ornamen kerlap-kerlip.


"Cakeeeep....," Abi memuji diri sendiri sambil mengambil foto hasil dekorasinya.


 
 Good job, Abi! Christmas is indeed the most wonderful time of the year!




Minggu, 10 November 2013

Ayo, Main Sampai Berantakan!


Sabtu pagi. Suara Diego terdengar memanggil Abi dari teras rumahnya yang tak jauh dari rumah kami.
"Abi! Lagi main apa kamu?"
"Main Goop!"
"Main apa?" Diego berlari menuju Abi yang sedang sibuk dengan mainan adonan tepung sagu dan air.
"Apaan tuh, Bi?"
"Goop!" Jawab Abi sambil senyum.
Ya, permainan ini saya dapatkan dari koordinator saya di sekolah. Kami suka membuatnya setiap ada Messy Day yang diadakan setiap term. Abi senang sekali ketika saya mencobanya di rumah dan kalau sedang bosan dengan semua mainannya, dia suka minta dibikinkan goop atau kadang bikin sendiri.

Diego terlihat tidak tertarik (awalnya).
"Aku sudah mandi," katanya ketika Abi mengajaknya main bareng.
"Ya udah, mainnya dikit-dikit aja, gak usah berantakan kayak aku."
Lalu Diego mencoba menyentuh adonan yang terlihat menarik itu dan mulai main bersama Abi yang saat itu sudah menumpahkan hampir setengah adonan goop dari baskomnya.





Tak lama, adonan pun habis. Saya memutuskan untuk membuat lagi. Masing-masing mendapat satu baskom yang sama besar dan mereka mulai membuat goop mereka sendiri.

Campur tepung sagu dan airnya terlebih dahulu
Tambahkan beberapa tetes pewarna makanan

Uleni hingga tekstur menyerupai susu kental manis

Abi membuat warna biru, sedangkan Diego memilih warna merah. Mereka tampak menikmati proses membuatnya, mulai dari menguleni tepung sampai mencampur pewarna di adonan.
"Ini kok keras banget sih. Kayaknya kurang air deh," Abi menuangkan Air ke dalam baskomnya.
"Seberapa, nih? Banyak atau dikit?"
"Dikit aja dulu. Nanti Abi liat, kalau kurang baru tambah lagi," jawab saya.
"O, ia ya. Nanti kalo kebanyakan air, gak jadi goop deh. Jadinya kayak lumpur! Hahaha..." Abi tergelak. Rupanya dia masih ingat pengalamannya membuat adonan ini tempo hari.
"Gimana, nih Tante. Punyaku kok kayak gini, sih?" tanya Diego menunjukkan adonannya yang terlalu cair.
"Itu tambahin tepung lagi, kamu kebanyakan airnya," Abi menjawabnya untuk saya.




Beberapa saat kemudian, goop sudah jadi. Abi dan Diego mulai bermain-main dengan adonan masing-masing.

 



Saya menambah 'perangkat' bermain mereka dengan barang-barang bekas yang juga biasa digunakan Abi untuk bermain air di kamar mandi; sendok plastik, gelas plastik, garpu, apa pun yang aman dan sudah tidak terpakai. Foto-foto berikut ini menggambarkan bagaimana mereka mengeksplorasi adonan dengan cara mereka sendiri. Mereka merasakan teksturnya yang unik, menikmati warnanya yang mencolok, kadang juga bercakap-cakap tentang apa yang sedang mereka lakukan.

















 It was so much fun and messy! Sampai akhirnya mereka mencampur goop mereka dalam satu baskom dan melihat apa yang terjadi jika 2 warna dicampurkan. 


Lelah bermain goop dan adonan sudah berceceran dimana-mana, saya mengeluarkan sisa pewarna makanan dan beberapa botol plastik bekas.
Tanpa instruksi lebih lanjut mereka mengisi botol-botol tersebut dengan air, meneteskan beberapa (baca: BANYAK) tetes pewarna ke dalam botol dan memulai permainan baru mereka!

Memerhatikan bagaimana pewarna makanan larut dalam air

Ayo, campur warna-warnanya!

Lalu, semprotkan air ke arah pagar. Yeah!!

Woohooo!!! Coba ayunkan lagi lebih tinggi!






Lalu saya mengeluarkan semprotan air, yang biasa digunakan untuk menyemprot tanaman. Abi semakin semangat! Ia mengisinya dengan air dan (lagi-lagi) mencampurkan banyak warna di dalam botol.


Fasya mengamati pola-pola yang berbeda setiap kali air disemprotkan

Fasya dan Aga terus menyemprotkan air ke arah tembok

Aga asyik melatih jari-jemarinya dengan botol semprotan

Melihat anak-anak mulai bosan dengan semprotan air, saya mengeluarkan kertas koran. Hehehehe... ya, saya hanya berusaha mengeluarkan barang-barang yang sudah tidak terpakai di rumah untuk bisa dimainkan anak-anak. Saya tidak tahu juga, bagaimana mereka akan menggunakan kertas koran itu sebagai mainan. Tapi, lihat apa yang mereka lakukan!

(Lagi-lagi) mencampurkan beberapa warna di gumpalan koran yang basah

Lalu peras korannya daaannn....wow!! Warna baru!!

Koran bekas habis dan hari semakin siang. Saya mulai mengeluarkan aba-aba untuk segera menyudahi kegiatan pagi itu. 
"Sudah, ya... waktunya beres-beres!" saya berseru sambil membereskan botol-botol yang tadi digunakan.
"Oke, boss!" Diego segera mengambil selang, menyemprot teras rumah, sementara entah inisiatif dari mana Abi mengambil ember besar dari kamar mandi. Hahaha.... mari semprot air ke dalam ember!! Makin kencang airnya, makin kencang juga suaranya!



Sabtu pagi itu terasa sangat istimewa. Abi dan tetangga-tetangganya bermain sampai berantakan di rumah! Well done, kids!

"Play is the highest form of research." (Albert Einstein)



Jumat, 20 September 2013

Weekend Getaway to Pari Island: See The Bright Side



Our Trip this time taught us to be grateful no matter how uncomfortable the situation was.

The Tour and Travel we trust didn't do what they supposed to do, so we didn't get what we suppose to have. Our group was deposited to another tour guide who already had 60 people in his own group, heading to the same destination. Our group had 13 people, so it became 73 people altogether.

We're grateful for our local tour guide, Pak Udin. He had much experience with this Tour and Travel, which apparently been cheating several times for not serving their customers right.


Our Lodge for 13 people (2 bedrooms, 2 bathrooms)

We're grateful because Pak Udin still served us, even though The Tour and Travel did not pay him for the travel service over the past two weeks. He was trying to get full Air Conditioner lodge for us, according to what had been stated in the agreement. Although the number of mattress weren't enough for all of us, we slept well at night and woke up in the morning with none of our body parts aches. :)



Virgin Beach

We enjoyed the beautiful Virgin Beach: white sand, clear water, full of mangroves and fish breeding.
We enjoyed the beautiful coral reefs of the Thousand Islands, although the boat we used was not as big as other boats and also had no roof that caused us sun-drenched, like having a free skin-tanning facility that we did not really want.
We still could get the underwater pictures from another guide's camera.
We shared a fresh and super yummy grilled squid at the Barbeque after given a plate of not-really fresh tuna.

Our Boat for Snorkeling and Island Hopping

 Saying "Hello" to our friends in another world ;)

Our disappointment paid off by the beauty of this island. We had so much fun and planned to go back there again! Not with the same Tour and Travel, of course!

Pari Island is beautiful and gives us (especially me) another experience that we'd never had before.





Kamis, 19 September 2013

"Bebek aja bisa ngantri..."

Lelaki itu meletakkan beberapa lembar KTP bersama setumpuk kertas pemesanan tiket kereta di samping saya, di konter yang sama. Saya melihatnya keheranan, mencoba meraba-raba alasan mengapa dia berani melakukan itu ketika saya belum selesai bertransaksi dengan petugas layanan pemesanan tiket. Saya mencoba untuk berkonsentrasi dengan pesanan saya yang belum kelar-kelar, tapi rupanya tindakan Bapak ini betul-betul mengganggu saya.
Saya menoleh pada antrian panjang di belakang saya. Mereka tampak begitu rapi mengantri, kecuali Bapak satu ini.

"Pak, antrinya dari belakang," saya mengingatkan.
"Gak papa, mbak saya begini supaya efisien."
"Efisien?? Bapak tidak tertib! Ngantri kok dari samping. Dimana-mana ngantri itu dari belakang, Pak!"
"Anda tidak usah repot urus saya. Nanti jadi lama! Lihat itu antrian panjang!" Suaranya meninggi.
"Ya jelas aja saya jadi ngurusin Bapak. Bapak gak tertib...," saya mencoba menahan emosi.
"Ya, sama saja lah mbak. Biasanya juga begini!" Suaranya tetap tinggi.
"Tidak tertib kok dibiasakan! Bapak ini gak bener. Yang lain sabar di belakang menunggu, Bapak seenaknya saja maju sementara saya belum selesai. Bagaimana sih??" Saya tidak tahan juga. Akhirnya, keras juga nada saya. 

"Ini mbak, tiketnya," suara petugas 'menengahi' adu mulut kami. Jujur saja, saya belum puas karena Bapak ini tidak merasa bersalah. Saya langsung menarik nafas dalam-dalam. Sore ini memang panas sekali dan mengantri selama 1 jam sebelum bisa dilayani petugas memang melelahkan. Langsung saya ambil tiket saya, memeriksa kembali data yang tertera, lalu mengucapkan terima kasih. Tak lupa, sebelum meninggalkan konter, saya menoleh ke sebelah kanan saya, dimana Bapak itu masih berdiri tanpa dosa.


"Bebek aja bisa ngantri, Pak. Gak malu sama Bebek??"
Dan saya berlalu. Ntah apa yang dikatakan Bapak itu setelah saya pergi. Saya rasa kalimat tadi sudah menuntaskan kejengkelan saya.

Selamat sore!

Selasa, 25 Juni 2013

"If We Hold On Together..." - Konser Reuni Poelang Kampoeng PSM CF USD

 

Upload-an foto dengan Febby bulan Juli 2012 di FB, tiba-tiba memunculkan wacana untuk nyanyi bareng lagi. Saya dan Febby dulu sama-sama anggota PSM dan sama-sama pula di Alto. Walaupun secara kemahasiswaan kami angkatan 1998, tapi Febby baru masuk 1999. Kurang lebih 13 tahun gak ketemu, malam itu kami jadi kangen-kangenan, foto-foto, dan sibuk meratapi kondisi fisik masing-masing yang sudah berubah bentuk dan sepertinya sulit untuk kembali. ^^



Gayung bersambut! Di tangan dan otak Mas Berukh kekangenan tersebut tidak hanya jadi wacana. Komentar-komentar yang terbaca di bawah postingan mas Mbong Agustus 2012 itu menghasilkan harapan yang sama.
Saya tentu tidak ketinggalan menyampaikan semangat saya untuk ikut bergabung (walaupun mungkin hanya bantu-bantu di kepanitiaan). Semua bersemangat! 

Waktu demi waktu berlalu, adik-adik yang terlibat dalam kepanitiaan inti rajin mengabarkan perkembangan terkini. Semua berjalan begitu cepat dan rapi. Tiba-tiba saya dikirimi teks lagu, diundang latihan setiap hari Minggu via sms, ditanyai ukuran bahan yang diperlukan untuk kostum, bahkan saya juga dikirimi vocal guide. Sampai disini saya terkagum-kagum dengan adik-adik. Sungguh detail dan rinci! 

Saya masih optimis untuk mengejar ketinggalan ketika tanggalan di rumah menunjukkan bulan Februari 2013, sementara belum sekali pun saya latihan. Adik-adik kawasan Jabodetabek masih belum putus asa mengundang saya untuk berlatih. Saya sampai tidak enak karena selalu ada saja halangan, mulai dari acara keluarga dan tanggung jawab sosial yang juga tidak bisa saya tinggalkan. 

"Ga papa, Lin... Pasti bisa! Minggu depan harus dateng, lho... Latiannya di Haji Nawi. Lebih dekat kaan?" Febby menyemangati. 
"Wis gak keburu kayaknya, Feb. Ndak malah kasian yang lain kalo ada 1 orang yang baru akan mulai."
Bagaimana tidak, ketika saya menghitung mundur sampai hari H saat itu, hanya ada kesempatan latihan sebanyak 8X sebelum gladi kotor. Belum lagi, akan ada 2X hari Minggu yang saya tidak akan bisa hadir karena ada ujian dan acara di sekolah anak saya. Total latihan yang tersisa hanya 6X. Ah, sudahlah. Menonton saja, yang penting ngumpulnya dan bisa ketemu Mas Mbong. ^^


Sabtu, 22 Juni 2013
Inilah hari itu. Setelah menempuh perjalanan darat Jakarta-Yogya selama 18 jam, jam 1 siang saya sampai juga. Malamnya, saya, Diot (Bass 98), dan istrinya (Nining) sampai tepat setengah jam sebelum konser dimulai. Belum juga sampai di lobby, saya bertemu adik angkatan Tulup. Saya tidak ingat nama aslinya. Hahaha. Tapi yang saya tau, nama FB nya adalah Rangga Zee. Anak muda ini kami panggil Tulup karena ketika ikut lomba PSM di Bandung (tahun 2000 atau 2001 ya?) dia membeli sebuah tulup di Tangkuban Perahu dengan harga yang (menurutnya) sangat murah, 100 ribu. Ketika di Cihampelas, Andre Gajah memamerkan tulup yang sama persis dengan harga jauuuuh lebih murah, 35 ribu saja. Spontan kami ngekek ga karuan dan sejak itulah kami resmi menamainya Tulup. ;)
Saya juga bertemu dik Enjang dengan anak bayinya... (Wah, Dik... Kowe isih cilik ae, yo? Hehe *piss)

Di lobby, sudah datang para senior PSM alias kakak-kakak angkatan saya. Mbak Mamiek (Ketua PSM Seumur Hidup - beliau menjabat Ketum PSM beberapa periode), Cik Mel (Es Lilin), mbak Ike, mas Deddy Berukh dan istrinya Prima, dirigen PSM sing ayuneeee...;)
Ada juga Ari 'Piano', dan pasutri Andre Gajah dan Sari. Semua membawa 'rombongan sirkus' masing-masing. Seruuu!
Angkatan saya? Sudah jelas, Trio Kwek Kwek! Saya, Diot, Jajoek! 
Ahh, kangen sekaliii sama Jajoek, kayaknya sudah 3-4 tahun gak ketemu manusia ini. Ya, dari kurang lebih 40 orang PSM angkatan 1998 yang diterima awalnya, tersisa kami bertiga yang masih aktif hingga titik darah penghabisan, masih suka nongol iseng-iseng di UKM, atau sekedar lewat, ngetok pintu "Permisi.." kemudian berlalu menuju bakso Pak Pri.

Malam itu, selama 3 jam saya dibuat kagum oleh penampilan spektakuler para alumni! Alumni PSM yang sudah tersebar ke segala penjuru, malam itu berkumpul di Yogyakarta supaya bisa bernyanyi bareng! Dari Papua, Sumba, ntah mana lagi; belum lagi alumni yang hadir untuk nonton, yang terjauh malam itu terbang dari Australia. Sungguh kerja keras yang tidak bisa tergantikan. Bahkan tepuk tangan panjang malam itu pun saya rasa tidak cukup untuk mengapresiasi apa yang sudah diperjuangkan selama kurang lebih 10 bulan ini.




Walaupun ada hal-hal teknis yang kerap membuat saya garuk-garuk kepala, walaupun beberapa gojekan di panggung membuat dahi saya berkerut, walaupun saya sempat bertanya-tanya kenapa kita tidak menyanyikan Hymne Sanata Dharma bersama, namun konser reuni ini tidak bisa dibilang 'biasa.'
Ini cinta, dan cinta itu gila. Jadi ini sama saja dengan konser gila!



Setelah lagu Zamrud Khatulistiwa malam itu, rasa penasaran mau ketemu Mas Mbong sudah tidak tertahankan lagi. Saya dan Jajoek berlari ke panggung dan menemukan Mas Mbong di pojok panggung.
"Mas Mbooooonngggg!!!" Ditengah keramaian para penonton yang tumpah ruah dan iringan musik yang masih terdengar, kami memeluknya. Erat. Sangat erat. Inilah pelatih, kakak, wong tuo, sekaligus tempat curhat ketika kisah cinta saya kandasss (nyesssss). Wajahnya memang terlihat menua, tapi tidak ada yang berubah dari caranya berjabat tangan dan aksennya ketika bilang, "Lho??" 
Saya tidak bisa menyembunyikan rasa terharu saya bisa bertemu kembali dengan beliau. Rasanya bangga sekali, bisa ngerasain 'diopeni' Mas Mbong seperti teman-teman lain. 
Malam itu Ia mengenakan jas hitam, berdasi, rapi dan masih memiliki kehangatan senyum yang (mungkin) tidak percaya kami ini akan nonton.


Dan itulah kami, menyempatkan untuk foto bersama Mas Mbong dan Febby yang menjadi satu-satunya wakil angkatan 1998. 
Ki-ka: Diot (bass), Jajoek (Alto), Febby (Alto), Mas Mbong, saya (Alto), Riana (Sopran), Arrie (Piano), Tulup (99, lali bass opo tenor yo?), Mas Gunawan (Suami Riana, tenor 97).

Terimakasih untuk konser ini, untuk semua yang terlibat didalamnya. Terimakasih sudah ikut bermimpi. Tetaplah bermimpi, karena resikonya hanya 1: terwujud!
Saya (dan teman-teman lainnya) cuma bisa bilang, "Bocah-bocah PSM saiki soyo edan!!"


-Nogotirto, 25 Juni 2013-


Minggu, 09 Juni 2013

Segarnya Es Lidah Buaya.....

Di suatu siang yang panasnya luar biasa, di tengah perjalanan pulang dari latihan menari di TIM Cikini, terbersit keinginan kuat untuk menikmati sesuatu yang segar. Suatu minuman berwarna, dingin, tapi harus tetap sehat. Apa yaa?
 
Tiba-tiba saya teringat sebuah ruang ngobrol dunia maya, dimana seorang kawan menganjurkan saya untuk mengatur kalori makanan, termasuk mengatur asupan serat dalam makanan supaya gizi saya tetap terjaga keseimbangannya. Saya sadar, usia yang semakin lanjut membuat saya harus tetap bisa menjaga stamina dan kesehatan. Kebiasaan saya sebenarnya tidak berbahaya. Saya tidak merokok, tidak (sering) minum minuman beralkohol, tapi akhir-akhir ini saya sering insomnia. Sehingga badan sering cepat lelah. Demikianlah ceritanya, hingga teman saya saat itu sempat bilang, "Yang mengandung banyak serat, Lin. Aloe vera itu bagus lho..."

Setiap dengar kata Aloe Vera, ingatan saya selalu langsung pada seorang teman SMA dari Pontianak, Dian Twistahayu. Kami dulu 1 unit di asrama, di unit Caecilia. Suatu hari dia pernah membuat minuman lidah buaya. Saya yang saat itu cuma tau kalau lidah buaya hanya berkhasiat untuk rambut, belum pernah denger kalau ternyata lidah buaya itu bisa dimakan. Ternyata, rasanya enak sekali dan sangat segar!

Tanpa pikir panjang, saya langsung menuju supermarket terdekat dan membeli lidah buaya. Di rumah, anak saya terlihat takjub dengan tanaman ini. Seingat saya, ini memang pertama kalinya Abi memegang lidah buaya. 




Cara membuatnya sangat gampang!
1. Lidah buaya dikupas kulitnya
2. Lalu dipotong dadu
3. Hilangkan lendirnya dengan menggunakan garam. Taburi di atas lidah buaya yang sudah dipotong dadu.
4. Bilas bersih di bawah air mengalir
5. Rebus air, setelah air agak panas, masukkan potongan lidah buaya dan daun pandan. Rebus kurang lebih 10 menit.
6. Tiriskan.
7. Sekarang buat sirupnya. Rebus air (kira-kira 600ml), masukkan daun pandan dan gula pasir, sesuai selera saja. Kalau saya tidak mau terlalu manis, karena nanti akan saya nikmati bersama sirup kemasan ;).
8. Masukan kembali potongan lidah buaya yang tadi sudah direbus.
9. Tambahkan esens vanili (kira-kira 1 sdt)
10.  Aduk-aduk hingga mendidih, kurang lebih 10 menit.
11. Diamkan hingga panasnya hilang.

Selesai sudah! Kalau panasnya sudah hilang, bisa langsung dinikmati. Tapi kalau saya lebih suka dimasukkan ke kulkas dulu, supaya jadi dingin. Maklum, saya sudah mengurangi konsumsi es batu belakangan ini ;)




 
Ini adalah es lidah buaya SEADANYA. Karena udah keburu kepengen, jadi yang ada saja yang dibeli. Kalau suka, anda bisa menambahkan selasih atau cincau :) 
*thumbs*

Jumat, 10 Mei 2013

Cerita 3 Hari 2 Malam dari Kiluan, Lampung

13681869751037472825


Ketika membaca sebuah undangan teman untuk bergabung dalam perjalanan liburan ke Kiluan, saya langsung menghubunginya. Kebetulan saat itu sedang liburan sekolah dan saya rasa tidak masalah mengajak Abi (anak saya) yang saat itu juga sedang liburan Paskah. Yang menjadi pikiran saya saat itu adalah perjalanan ini ala backpacker. Hmm... ini akan menjadi pengalaman pertama untuknya. Kejauhan gak ya untuk anak umur 4 tahun backpack dari Jakarta ke Lampung? Ah, it's all about mindset. Kalau kita pikir bisa, pasti bisa. Akhirnya, saya mengkonfirmasi keberangkatan dan masih punya waktu 2 hari untuk mempersiapkan Abi.

Kami sepakat bertemu di Slipi Jaya jam 6 pagi. Meeting point ini kami tentukan berdasarkan tempat tinggal kami yang berjauhan satu sama lain dan Slipi Jaya adalah tempat yang paling masuk akal untuk kami berempat. Pukul 6.20 kami mencegat bis Primajasa. Ya, saya yang datang agak terlambat (Maaf, ya teman-teman). Hup! Saya, Abi, Megah, Kiki,  dan Tami masuk ke dalam bus yang sudah terisi setengahnya dari Kp. Rambutan. Dengan membayar Rp 17.000, 2 jam kemudian kami tiba di pelabuhan  Merak setelah sebelumnya singgah di Terminal Terpadu Merak Cilegon dan Serang beberapa saat.

Terus terang, ini perjalanan pertama saya menuju Sumatra. Satu-satunya pulau besar di Indonesia yang belum pernah saya kunjungi. Keluarga besar yang tersebar di penjuru negeri ini, membuat saya tidak pernah kesulitan bepergian kesana-kemari. Tapi tidak dengan Sumatra, karena tidak ada yang tinggal di sana. Ini akan menjadi perjalanan perdana saya dan Abi ke Sumatra! Aheyy!


HARI I: Perjalanan Jakarta - Pulau Kiluan

Biaya kapal ferry sebesar Rp 11.500 (dewasa) dan Rp 7.000 (anak-anak), lalu kami menuju Kapal Tribuana. Abi takjub melihat kapal ferry. Dia sibuk menanyakan kenapa mobil bisa masuk ke dalam kapal, ada berapa mobil yang bisa masuk, berapa lama perjalanan ke Bakauheni, dan juga membicarakan pulau-pulau kecil yang kami temui di sepanjang Selat Sunda. Ketika teman-teman saya yang lain beristirahat sepanjang perjalanan, saya melayani anak saya dan melancarkan strategi yang memang sudah saya susun untuk mengisi waktu selama perjalanan supaya dia tidak bosan. So far, so good.

1368164917946982652
Beginilah salah satu cara Abi membunuh waktu di atas ferry

Perjalanan selama 2 jam tidak terasa karena pemandangan alam indah khas laut Indonesia: pulau-pulau kecil dan laut biru. Kalau anda tidak mengantuk, anda tidak akan sia-sia kok menikmati panorama ini, sambil menikmati sebungkus mie instan atau sekedar minum minuman soda (yang walaupun kurang menyehatkan, tapi tentunya sangat menyegarkan).


1368187105467599657

Pelabuhan Bakauheni. Saya pikir, cuma saya yang merasakan ini...ternyata teman-teman saya juga. Alangkah ramainya pelabuhan ini dan sangat riweuh (Bahasa Sunda, yang saya tidak tahu apa Bahasa Indonesianya). Pada umumnya, orang-orang mencari penumpang dengan cara bertanya atau (yang paling keras) berteriak-teriak. Ternyata, tidak hanya itu, di sini supir-supir bis membunyikan klakson untuk menarik penumpang. Bayangkan saja, ada kurang lebih 5 bis besar di depan kami dan semua membunyikan klakson di saat yang bersamaan! Alright! Selamat Datang di Propinsi Lampung!

13681652331959515267
Ke-riweuh-an pelabuhan kala itu (Abi sampai tutup kuping)

Penampilan kami, tentu sudah menarik perhatian. Penampilan cewek-cewek Jakarte (ehm...saya juga boleh lah dibilang cewek, biarpun bawa 'buntut.' Hehe), dengan tas ransel, sendal jepit, kacamata hitam, dan terlihat sedikit disorientasi lapangan; membuat para dedengkot pelabuhan ramai mengerubungi kami, menawarkan jasa untuk mengantar sampai ke tujuan.
"Maaf, pak...kami dijemput."
"Iya, sudah dijemput."
"Gak, pak...makasih."
Kalimat-kalimat ini yang bisa kami katakan, sambil menunjukkan sikap penolakan karena kami memang sudah memesan travel untuk mengantar ke Lampung.

Kami meminta untuk singgah makan siang di sekitar Pelabuhan, sebelum menuju Lampung. Nasi padang, pilihan kami dan mungkin satu-satunya menu yang bisa mengerti selera kami saat itu. Supir yang saat itu menjemput kami, meminta untuk menunggu sebentar di rumah makan karena dia bilang akan menjemput keponakannya yang juga baru sampai di Bakauheni. Kami pikir, tidak masalah lah selama masih ada tempat di dalam mobil. Menunggu 15 menit, 30 menit, 45 menit, tidak datang-datang. Sementara hari sudah semakin sore, dan perjalanan kami bisa tertunda dalam waktu yang tidak kami ketahui kalau begini caranya. Kiki, yang sudah sabar menunggu jadi agak kesal, karena tidak seharusnya penumpang seperti kami diminta menunggu supir dalam waktu yang begini lama. Kiki menelpon sang supir dan meminta dia untuk kembali dengan segera karena batas toleransi kami sudah habis. 5 menit kemudian supir tersebut datang. Kami menanyakan keberadaan keponakannya dan dia bilang belum ketemu. Hmm... oya????

Tanpa penjelasan lebih lanjut, tanpa maaf, supir langsung melajukan kendaraannya menuju Lampung. Melaju diatas kendaraan roda 4 dengan kecepatan di atas 100km/jam bukan hal baru untuk kami. Tapi melaju di atas kendaraan roda 4, dengan kecepatan di atas 100 km/jam, SAMBIL menerima telepon, wah saya tidak bisa tinggal diam, apalagi ada anak kecil di dalam mobil. Saya menegur supir, untuk menepi jika ada telepon masuk, karena sangat membahayakan walaupun dia sudah tahu kondisi jalan. Tentu saja, teguran saya tidak digubris. Ketika ada telepon berikutnya masuk, dia hanya bisa mengurangi kecepatan sambil tetap menerima telepon. Ya sudahlah. *sigh*

Perjalanan menuju kota Bandar Lampung ditempuh selama kurang lebih 2 jam, lalu kami dioper ke mobil lain (dengan travel yang sama) untuk menuju ke Dusun Bandung Jaya (Kabupaten Tanggamus), dimana nanti kami akan langsung bertolak menuju Pulau Kiluan yang tak jauh lagi jaraknya. Memerlukan waktu 3 jam untuk sampai di sana. Karena sudah kesorean, maka kami sampai di Bandung Jaya pukul 8 malam. Jalan menuju dusun ini belum mulus, naik turun dan bumpy jadi anda harus berhati-hati memilih supir, pastikan supir anda tau pasti jalan menuju dusun ini. Apalagi, minimnya penerangan di sepanjang jalana. Beruntung supir kami, yang juga pemilik travel adalah warga dusun tersebut, sehingga dia cukup tau bagaimana menaklukkan jalan-jalan rusak itu.

Tiba di Dusun Bandung Jaya, kami diturunkan di rumah Pak Yon. Pak Yon juga memiliki warung yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari telur, susu, shampo, sampai mie instan. Warung ini adalah 'pusat perbelanjaan' terakhir yang bisa anda temui sebelum anda bertolak ke Pulau Kiluan. Jadi, jika anda berencana untuk menginap di pulau dan persediaan anda habis, pastikan anda membekali diri anda sebaik mungkin dengan berbelanja di warung Pak Yon :)


Perjalanan menuju Pulau Kiluan tidak lama, hanya 15 menit. Sensasinya adalah ini kami lakukan di malam hari, tanpa penerangan di jukung (kapal kayu milik penduduk atau saya biasa menyebutnya ketinting) dan kondisi perairan di teluk yang tidak kami ketahui pasti. Sungguh gelap gulita, sementara di kejauhan tampak Pulau Kiluan masih agak terang dengan penerangan seadanya dari genset.

Setiba kami di pulau, kami disambut hangat oleh pemilik penginapan. Kami langsung dipersilakan istirahat, dan tentu saja yang kami lakukan pertama kali adalah mencari listrik! Haha... ya ya... kami perlu dengan segera, secara bergiliran, mengisi ulang baterai segala gadget yang kami miliki, maklum... genset ini akan mati besok pagi jam 6!


136816702365414403
Penginapan Kami

Penginapan satu-satunya di pulau ini memang tidak bisa dinilai nyaman banget. Yah...cukuplah. Tapi kalau sedang peak season anda juga bisa mendirikan tenda di pulau ini, tentunya dengan pesan singkat pengelola: jangan meninggalkan sampah! Saya salut dengan Abi, yang akhirnya bisa tidur juga, walaupun kamar cukup panas dan ditemani seekor tokek yang ada di balik lemari.


HARI II: Nyari Lumba-Lumba, Snorkeling, Susur Pulau Kiluan, Main di Laguna 

Keesokan paginya, acara kami adalah melihat lumba-lumba! Abi bangun pagi dengan pemandangan yang tidak pernah ia jumpai di Jakarta: pantai pasir putih dengan laut biru, dan matahari yang menyembul di balik bukit. Dia makin semangat ketika mengetahui bahwa beberapa saat lagi akan menyaksikan antraksi lumba-lumba di 'rumahnya lumba-lumba,' bukan di Ancol!! Wihiiiyyy....

Jukung yang kami pesan sudah tiba. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Saat dimana matahari baru terlihat setengahnya dan ombak belum besar. Pantai masih sangat tenang dan kami terpesona dengan kejernihan pantai dan lautnya. Foto sana, foto sini, mengabadikan setiap sudut dan keindahan, sambil bersyukur dalam hati bahwa saya masih diberi kesempatan untuk menikmati alam semegah ini. Puji Tuhan!



1368187263191931980
Sunrise pagi itu *no filter











Untuk kami berempat, diperlukan 2 jukung, karena 1 jukung hanya boleh membawa maksimal 3 penumpang ke teluk. Saya berada di jukung yang sama dengan Tami, sementara Kiki dengan Megah. Segera kami bersiap dengan life jacket masing-masing, dan tentu saja kacamata hitam supaya tidak silau...



136818748386076176
Foto dulu sebelum naik jukung ;)












Waktu menunjukkan pukul 6.30 dan kami bertolak menuju .... laut! Abi, yang baru pertama kali dalam hidupnya naik perahu kayu, cukup grogi ketika perahu itu mulai bergerak. Badannya tak bergerak sedikit pun, pandangannya lurus ke depan. Saya menawarinya berbagai cemilan, dia menolak. Setelah kurang lebih 1 jam di laut (mencari lumba-lumba), baru dia terlihat lebih rileks, disertai perasaan tak sabar saya dan Tami yang sudah mulai habis, karena hari semakin siang, matahari makin tinggi dan panas, namun lumba-lumba tak kunjung terlihat juga.


1368187592292851440


Terakhir kali mengecek jam di HP, waktu menunjukkan pukul 8.15. Ahh.... yang bener aja nih. Sudah sejauh ini, masa gak ketemu juga? Jukung yang kami naiki kembali berputar arah, menuju sudut lain di teluk. Tiba-tiba bapak pemandu bilang dengan santainya, "Itu dia, mbak."

 
Hah? Mana pak? Saya dan Tami langsung panik, takut kehilangan momen. Itu dia!!!! Segerombolan lumba-lumba hidung botol (warna abu-abu) sedang melompat-lompat di laut! Abi di samping saya, tersenyum lebar melihat atraksi ini. Dia mungkin belum begitu mengerti apa artinya melihat lumba-lumba di laut. Buat saya, Tami, Megah, dan Kiki.... kesempatan ini berharga sekali. Lain rasanya menyaksikan mereka hidup di habitat daripada ketika melihat mereka menjadi obyek hiburan dan diminta untuk mengikuti instruksi ini-itu. Belakangan, dari koleksi foto lumba-lumba kami yang terbatas, Abi menemukan tidak hanya lumba-lumba hidung botol saja yang waktu itu kami temui, tapi juga lumba-lumba hitam yang memang gemar melompat di dekat kapal, yang bentuk hidungnya tidak seperti botol dan warna kulitnya hitam putih.


1368186816569496410
The best shot from my android phone ;)



13681865441861856171
Picture by Megah

Atraksi lumba-lumba di Teluk Kiluan itu tidak memakan waktu yang lama, saya rasa tidak sampai setengah jam, lalu kami tidak melihat mereka lagi. Segera kami kembali ke pulau, lagipula saat itu hari sudah semakin siang, matahari makin tinggi, dan perut mulai minta diladeni.

Di pulau, kami memesan makanan pada pemilik penginapan. Ikan bakar yang cukup untuk kami berempat. Sesaat kemudian, 4 ekor ikan tongkol, sayur, sambal, dan nasi sebakul dihidangkan tepat di depan kamar kami. Makan siang yang sangat klasik di pinggir pantai, bukan? :D


13681877671158945616


Agenda kami berikutnya adalah snorkeling! Snorkeling kali ini saya rasakan cukup berbeda. Kali ini saya tidak bisa bebas mengembara tanpa batas di dunia bawah laut, seperti pengalaman snorkeling sebelum-sebelumnya. Hal ini dikarenakan, anak saya menanti di pinggir pantai. Abi masih sibuk bermain mencari keong-keong laut ketika saya baru memulai snorkeling bersama pemandu. Sesaat kemudian, ketika dia melihat saya sudah berada di tengah laut, dia berteriak-teriak memanggil nama saya untuk kembali. Ntah apa yang ada dipikirannya, mungkin dia mengira saya tidak akan kembali ke pantai atau ntah apa. Saya langsung kembali ke tepi, meninggalkan Megah, Kiki, dan Tami yang masih bersama pemandu. Saat itu dia sudah ditemani oleh pemilik penginapan yang menghiburnya. Saya tersenyum padanya, dan (walaupun tidak kembali untuk snorkeling), mengatakan padanya, bahwa saya hanya bermain-main sebentar dengan Nemo di bawah laut.


1368187868390660148






1368188007847683674


Cukup lama kami bemain-main dengan laut. Walaupun hanya nongkrong di sekitar pantai, saya dan Abi sangat menikmati waktu kami. Kebetulan, memang hanya kami yang berada di pulau itu. Tidak ada orang lain. Kami benar-benar seperti sedang berada di pantai dan pulau pribadi. 


1368188194299259948


Seusai  snorkeling, kami beristirahat sejenak di penginapan. Kami berencana untuk check-out siang itu, dan kembali ke seberang untuk  menginap semalam lagi disana, karena kami mau menuju laguna. Rupanya, pemandu memiliki usul lain. Sambil mengisi waktu, pemandu mengajak kami untuk 'berkeliling' pulau. Tolong diingat disini, yang saya maksud dengan 'berkeliling' pulau termasuk trekking ke atas laguna, naik ke atas tebing, tapi tidak bisa terjun! Karena sebenarnya, spot tersebut adalah untuk menikmati sunset! Kami merasa 'dikerjain' karena jalannya curam. Lagipula, kalau memang untuk sunset, untuk apa juga kami diajak kesana siang-siang bolong?? Walaupun demikian, kami (terutama) saya, tetap menikmatinya.... karena ini kali pertama anak saya ikut trekking ke atas tebing! 

13681883031240395990
Abi dibantu oleh pemandu untuk sampai ke puncak tebing

Perjalanan kami lanjutkan dengan turun dari tebing dan menuju penginapan dengan jalan memutar. Pulau ini memang tidak begitu besar, kurang lebih 5 hektar (Sumber: id.wikipedia.org). Sepanjang perjalanan, kami ditunjukkan beberapa spot yang juga biasa dipergunakan pelancong untuk mendirikan tenda (terutama jika penginapan sedang penuh). Hal ini terlihat dari beberapa kaleng bir yang tergeletak di tepi pantai. Walah, baru tau saya kalau berkemah boleh meninggalkan sampah. Sewaktu ikut pramuka di sekolah dulu, meninggalkan sampah berserakan setelah berkemah itu sama saja dengan nyari masalah. Hukumannya bisa fisik atau kemarahan kakak tingkat! Hehehe....

Pukul 13.00 waktu setempat dan segera kami berkemas menuju seberang. Kami merasa sangat puas telah menikmati keindahan pulau Kiluan ini. Semoga kealamian yang dimiliki daerah ini tetap dipertahankan. Selama ini, Kiluan memang dikelola oleh masyarakat setempat, dengan fasilitas dan promosi yang seadanya. Daerah ini betul-betul dikenal oleh masyarakat luas (atau dunia) melalui promosi dari mulut ke mulut. Kalau saja pemerintah setempat bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan pariwisata Kiluan (dan banyak daerah di sekitarnya), tentu akan lebih banyak lagi masyarakat Indonesia yang mengenal kemolekan teluk di ujung Sumatra ini. Tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk menikmati pantai pasir putih, atau ke Australia untuk menyaksikan lumba-lumba di laut, bukan? ;)

Kami kembali menaiki jukung dan menepi, lalu memesan kamar di Warung Pak Yon untuk bermalam. Lalu kami mencari jalan, bagaimana supaya bisa menuju Laguna karena pemandu yang sebelumnya hanya memandu di pulau Kiluan saja. Akhirnya, dari penduduk setempat, dipanggillah beberapa pemuda dengan sepeda motornya yang siap mengantar kami untuk pergi ke Laguna. Tawar-menawar harga 'ojek' dibantu oleh beberapa ibu-ibu yang kebetulan berbelanja di warung Pak Yon, dan tersebutlah harga kesepakatan Rp 10.000 untuk mengantar kami, bersama seorang pemandu dadakan. Total ada 4 ojek dan kami kembali bersiap dengan trekking selanjutnya.

Ketika mengetahui bukit mendaki yang akan kami lalui untuk menuju laguna, saya langsung memperingatkan Abi untuk tinggal di penginapan saja. Saya tidak yakin, setelah berbagai kegiatan yang cukup menguras tenaga sedari pagi, Abi masih bisa kuat melalui perjalanan ke laguna ini. Apalagi, menurut pemandu, jalannya juga cukup terjal, dipenuhi batu-batu (yang judulnya sebenernya hampir sama dengan 'susur tebing'). Tapi Abi tidak terlihat lelah, dia malah bilang, "Aku ikut, Mami. Ayo..."
Ya sudah, aku cuma bisa berdoa semoga ketika dia bilang 'capek' nanti, kita berada di tempat yang bisa duduk sambil menikmati pemandangan, bukan di tengah hutan.


13681673961241539359
Salah satu rute di bukit menuju laguna












Bukit ini, luar biasa! Berpasir, dipenuhi pohon coklat yang memang merupakan salah satu budidaya masyarakat setempat. Gunakanlah alas kaki yang memadai, karena di jalan yang berpasir seperti di bukit ini, anda bisa terpeleset jika tidak hati-hati dan tidak menggunakan alas kaki yang tepat.

Tibalah kita di pantai di balik bukit. Namun, bukan ini tujuan kami. Jadi, kami melalui lagi jalan setepak berbatu besar-besar yang sudah ditandai dengan cat berwarna merah khusus untuk anda yang memang menuju laguna. Nobody said it was easy, but they said it was worth it! Tidak perlu saya jelaskan bagaimana perjalanan kami, nikmati saja foto collage yang sudah saya buat ini.


13681886631854952830


13681887971019740111
1368168180787461761


Tebing dengan tinggi kurang lebih 4 meter, airnya yang super bening, anda tidak mungkin menolak untuk terjun ke dalamnya. Terus terang, ini kali pertama saya terjun di laguna! I did buggy jumping and roller coaster when I was young, but it doesn't mean I have the guts to jump into a lagoon! Setelah tarik ulur dengan diri sendiri, akhirnya saya terjun juga! Sungguh surga tersembunyi! Dan kami sangat beruntung merasakan ini dalam keadaan laguna yang tidak ramai, hanya kami yang ada disana!

Malam harinya, kami meluangkan waktu untuk hibernasi. Makan malam (*nd*m**), memasak, dan ngobrol-ngobrol. Megah mengeluhkan kulit mulusnya yang terbakar matahari. Dia dan saya dengan penuh spekulasi mencoba berbagai medikasi 'rumahan' dan darurat yang mungkin bisa membantu, namun tidak berhasil, bahkan kulit terbakarnya menjadi lebih panas dan perih. Upsss.... ;)


Waktu tidur kami dihiasi dengan 'kunjungan' 'penjaga' dusun yang mungkin ingin mengenal kami dengan lebih dekat. Kiki, Megah, dan Tami mendengar pintu kamar kami diketuk dengan sangat kasar, saya dan anak saya tidak (karena kami sudah tidur). Sedemikian mengganggunya, sehingga Kiki berteriak minta tolong pada Pak Yon dan Ibu, yang saat itu sudah tidur. Saya tidak ingat saat itu jam berapa, mungkin jam 10 malam. Saya masih meraba-raba apa yang terjadi ketika Kiki meminjam pisau lipat Victorinox saya. Sungguh-sungguh gaduh. Saya mencoba meyakinkan, mungkin itu tikus atau kucing, Kiki yakin sekali bukan. Sementara Megah dengan santainya mengatakan, "Itu setan tadi." Dan tak lama kemudian, suara anjing melolong terdengar nyaring di dekat penginapan kami...

Berkali-kali saya traveling ke daerah, naik gunung, ke pulau, baru kali ini ada yang 'mau kenalan.' Kami lalu sibuk mengevaluasi diri kami masing-masing. Ah, ya ya ya.... mungkin kami kurang 'permisi' dan 'lupa' akan keberadaan kami. Buat saya pribadi, ini kali pertama saya traveling tanpa rosario. Saya lupa membawanya! Baiklah. Saya hanya bisa kembali berbaring, memeluk anak saya, sambil berdoa Salam Maria sampai tertidur. Permisi...., kami sudah boleh tidur kan sekarang? Maaf, ya kalau kami mengganggu..... :)

HARI III: Kembali Ke Jakarta 

Pagi yang cerah. Beberapa tetangga Pak Yon menanyakan apa yang terjadi semalam dalam Bahasa Jawa yang kental. Pak Yon menjawab dalam Bahasa Jawa halus yang kira-kira artinya, "Ada tikus gede kayaknya."
("_")'

  
Homestay Pak Yon


Kami bersiap, mandi di kamar mandi dan air yang jauh lebih bersih daripada penginapan di pulau, dan ini membuat anak saya jadi bisa BAB. Jam 8 pagi, kami pamit pada Pak Yon sekeluarga, kami merasa sangat berterima kasih dengan keramahtamahan keluarga ini, dan menurut saya tempat ini sangat recommended bagi anda yang menginginkan penginapan murah dan bersih di Kiluan.

Bersama Pak Yon dan Istri

Di sepanjang jalan, barulah kami bisa menikmati perjalanan kami, karena sebelumnya, kami menempuh perjalanan di malam hari. Dusun ini juga ditinggali oleh sekelompok masyarakat Bali yang hidup berdampingan dengan penduduk asli Lampung. Tak heran, banyak anjing berkeliaran bebas di jalan-jalan (suasana yang sudah jarang saya jumpai di Jakarta) dan umbul-umbul khas Bali di setiap sudut dusun.



13681687001850955141
Rumah Adat Lampung, taken rushly from our car window

1368168817772694892
Salah satu ruas jalan yang harus dilalui menuju/atau dari Kiluan










Setelah mampir membeli oleh-oleh dan makan bakso (ah, saya kok lupa nama warung bakso terkenal itu ya?), kami kembali di oper ke mobil lain untuk menuju ke Bakauheni. Hari sudah semakin siang, dan jam 1 siang kami bertolak dari Bakauheni menuju Merak.

Di atas ferry, kami mendiskusikan semua yang kami alami, liburan di surga dunia yang tak akan terlupakan, bergabungnya Abi di liburan ala backpacker ini yang sama sekali tidak menghilangkan nilai dari liburan 'tas ransel' itu sendiri, supir travel yang kurang profesional, juga our epic night yang baru kami alami kali ini. Kami sama-sama bersyukur dan belajar. Terima kasih Megah, Kiki, dan Tami!! Looking forward for the next trip: Ujung Kulon!

1368168958934310937


GAMBARAN PERINCIAN BIAYA YANG KAMI KELUARKAN

Bis Ke Merak Rp 17.000
Ferry ke Bakauheni Rp 11.500 (x2 Rp 23.000)
Travel Bakauheni - Kiluan PP Rp 800.000 (antar jemput)--> Dibagi 4 orang: Rp 200.000
Sewa Jukung ke/dari Pulau Kiluan Rp 40.000 (X2 = Rp 80.000) --> Dibagi 4 orang: Rp 20.000
Sewa Jukung untuk lihat lumba-lumba Rp 250.000/kapal *1 kapal untuk 2-3 orang --> Dibagi 2 orang: Rp 125.000
Sewa snorkel Rp 25.000
Guide Rp 100.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 25.000
Penginapan (hasil tawar menawar) Rp 150.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 37.500
Uang makan di penginapan Rp 15.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 3.750
Penginapan Pak Yon Rp 100.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 25.000
Guide ke Laguna Rp 50.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 12.500
Ojek ke Laguna Rp 10.000
Bis dari Merak ke Pulogadung Rp 20.000


TOTAL BIAYA (Yang dijumlahkan hanya harga yang ditebalkan) Rp 543.750,-