Ketika
membaca sebuah undangan teman untuk bergabung dalam perjalanan liburan ke
Kiluan, saya langsung menghubunginya. Kebetulan saat itu sedang liburan
sekolah dan saya rasa tidak masalah mengajak Abi (anak saya) yang saat
itu juga sedang liburan Paskah. Yang menjadi pikiran saya saat itu
adalah perjalanan ini ala backpacker. Hmm... ini akan menjadi
pengalaman pertama untuknya. Kejauhan gak ya untuk anak umur 4 tahun
backpack dari Jakarta ke Lampung? Ah, it's all about mindset. Kalau
kita pikir bisa, pasti bisa. Akhirnya, saya mengkonfirmasi
keberangkatan dan masih punya waktu 2 hari untuk mempersiapkan Abi.
Kami sepakat bertemu di Slipi Jaya jam 6 pagi. Meeting point ini
kami tentukan berdasarkan tempat tinggal kami yang berjauhan satu sama
lain dan Slipi Jaya adalah tempat yang paling masuk akal untuk kami
berempat. Pukul 6.20 kami mencegat bis Primajasa. Ya, saya yang datang
agak terlambat (Maaf, ya teman-teman). Hup! Saya, Abi, Megah, Kiki, dan
Tami masuk ke dalam bus yang sudah terisi setengahnya dari Kp.
Rambutan. Dengan membayar Rp 17.000, 2 jam kemudian kami tiba di
pelabuhan Merak setelah sebelumnya singgah di Terminal Terpadu Merak Cilegon dan Serang beberapa saat.
Terus
terang, ini perjalanan pertama saya menuju Sumatra. Satu-satunya pulau
besar di Indonesia yang belum pernah saya kunjungi. Keluarga besar yang
tersebar di penjuru negeri ini, membuat saya tidak pernah kesulitan
bepergian kesana-kemari. Tapi tidak dengan Sumatra, karena tidak ada
yang tinggal di sana. Ini akan menjadi perjalanan perdana saya dan Abi
ke Sumatra! Aheyy!
HARI I: Perjalanan Jakarta - Pulau Kiluan
HARI I: Perjalanan Jakarta - Pulau Kiluan
Biaya
kapal ferry sebesar Rp 11.500 (dewasa) dan Rp 7.000 (anak-anak), lalu kami
menuju Kapal Tribuana. Abi takjub melihat kapal ferry. Dia sibuk
menanyakan kenapa mobil bisa masuk ke dalam kapal, ada berapa mobil yang
bisa masuk, berapa lama perjalanan ke Bakauheni, dan juga membicarakan
pulau-pulau kecil yang kami temui di sepanjang Selat Sunda. Ketika
teman-teman saya yang lain beristirahat sepanjang perjalanan, saya
melayani anak saya dan melancarkan strategi yang memang sudah saya susun
untuk mengisi waktu selama perjalanan supaya dia tidak bosan. So far, so good.
Perjalanan
selama 2 jam tidak terasa karena pemandangan alam indah khas laut
Indonesia: pulau-pulau kecil dan laut biru. Kalau anda tidak mengantuk,
anda tidak akan sia-sia kok menikmati panorama ini, sambil menikmati
sebungkus mie instan atau sekedar minum minuman soda (yang walaupun
kurang menyehatkan, tapi tentunya sangat menyegarkan).
Pelabuhan
Bakauheni. Saya pikir, cuma saya yang merasakan ini...ternyata
teman-teman saya juga. Alangkah ramainya pelabuhan ini dan sangat riweuh (Bahasa
Sunda, yang saya tidak tahu apa Bahasa Indonesianya). Pada umumnya,
orang-orang mencari penumpang dengan cara bertanya atau (yang paling
keras) berteriak-teriak. Ternyata, tidak hanya itu, di sini supir-supir bis
membunyikan klakson untuk menarik penumpang. Bayangkan saja, ada kurang
lebih 5 bis besar di depan kami dan semua membunyikan klakson di saat
yang bersamaan! Alright! Selamat Datang di Propinsi Lampung!
Penampilan
kami, tentu sudah menarik perhatian. Penampilan cewek-cewek Jakarte
(ehm...saya juga boleh lah dibilang cewek, biarpun bawa 'buntut.' Hehe),
dengan tas ransel, sendal jepit, kacamata hitam, dan terlihat sedikit
disorientasi lapangan; membuat para dedengkot pelabuhan ramai
mengerubungi kami, menawarkan jasa untuk mengantar sampai ke tujuan.
"Maaf, pak...kami dijemput."
"Iya, sudah dijemput."
"Gak, pak...makasih."
Kalimat-kalimat
ini yang bisa kami katakan, sambil menunjukkan sikap penolakan karena
kami memang sudah memesan travel untuk mengantar ke Lampung.
Kami
meminta untuk singgah makan siang di sekitar Pelabuhan, sebelum menuju
Lampung. Nasi padang, pilihan kami dan mungkin satu-satunya menu yang
bisa mengerti selera kami saat itu. Supir yang saat itu menjemput kami,
meminta untuk menunggu sebentar di rumah makan karena dia bilang akan
menjemput keponakannya yang juga baru sampai di Bakauheni. Kami pikir,
tidak masalah lah selama masih ada tempat di dalam mobil. Menunggu 15
menit, 30 menit, 45 menit, tidak datang-datang. Sementara hari sudah
semakin sore, dan perjalanan kami bisa tertunda dalam waktu yang tidak
kami ketahui kalau begini caranya. Kiki, yang sudah sabar menunggu jadi
agak kesal, karena tidak seharusnya penumpang seperti kami diminta
menunggu supir dalam waktu yang begini lama. Kiki menelpon sang supir
dan meminta dia untuk kembali dengan segera karena batas toleransi kami
sudah habis. 5 menit kemudian supir tersebut datang. Kami menanyakan
keberadaan keponakannya dan dia bilang belum ketemu. Hmm... oya????
Tanpa
penjelasan lebih lanjut, tanpa maaf, supir langsung melajukan
kendaraannya menuju Lampung. Melaju diatas kendaraan roda 4 dengan
kecepatan di atas 100km/jam bukan hal baru untuk kami. Tapi melaju di
atas kendaraan roda 4, dengan kecepatan di atas 100 km/jam, SAMBIL
menerima telepon, wah saya tidak bisa tinggal diam, apalagi ada anak
kecil di dalam mobil. Saya menegur supir, untuk menepi jika ada telepon
masuk, karena sangat membahayakan walaupun dia sudah tahu kondisi jalan.
Tentu saja, teguran saya tidak digubris. Ketika ada telepon berikutnya
masuk, dia hanya bisa mengurangi kecepatan sambil tetap menerima
telepon. Ya sudahlah. *sigh*
Perjalanan
menuju kota Bandar Lampung ditempuh selama kurang lebih 2 jam, lalu
kami dioper ke mobil lain (dengan travel yang sama) untuk menuju ke
Dusun Bandung Jaya (Kabupaten Tanggamus), dimana nanti kami akan
langsung bertolak menuju Pulau Kiluan yang tak jauh lagi jaraknya.
Memerlukan waktu 3 jam untuk sampai di sana. Karena sudah kesorean, maka
kami sampai di Bandung Jaya pukul 8 malam. Jalan menuju dusun ini belum
mulus, naik turun dan bumpy
jadi anda harus berhati-hati memilih supir, pastikan supir anda tau
pasti jalan menuju dusun ini. Apalagi, minimnya penerangan di sepanjang
jalana. Beruntung supir kami, yang juga pemilik travel adalah warga
dusun tersebut, sehingga dia cukup tau bagaimana menaklukkan jalan-jalan
rusak itu.
Tiba
di Dusun Bandung Jaya, kami diturunkan di rumah Pak Yon. Pak Yon juga
memiliki warung yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari
telur, susu, shampo, sampai mie instan. Warung ini adalah 'pusat
perbelanjaan' terakhir yang bisa anda temui sebelum anda bertolak ke
Pulau Kiluan. Jadi, jika anda berencana untuk menginap di pulau dan
persediaan anda habis, pastikan anda membekali diri anda sebaik mungkin
dengan berbelanja di warung Pak Yon :)
Perjalanan
menuju Pulau Kiluan tidak lama, hanya 15 menit. Sensasinya adalah ini
kami lakukan di malam hari, tanpa penerangan di jukung (kapal kayu milik
penduduk atau saya biasa menyebutnya ketinting) dan kondisi perairan
di teluk yang tidak kami ketahui pasti. Sungguh gelap gulita, sementara
di kejauhan tampak Pulau Kiluan masih agak terang dengan penerangan
seadanya dari genset.
Setiba
kami di pulau, kami disambut hangat oleh pemilik penginapan. Kami
langsung dipersilakan istirahat, dan tentu saja yang kami lakukan
pertama kali adalah mencari listrik! Haha... ya ya... kami perlu dengan
segera, secara bergiliran, mengisi ulang baterai segala gadget yang kami miliki, maklum... genset ini akan mati besok pagi jam 6!
Penginapan Kami |
Penginapan satu-satunya di pulau ini memang tidak bisa dinilai nyaman banget. Yah...cukuplah. Tapi kalau sedang peak season anda
juga bisa mendirikan tenda di pulau ini, tentunya dengan pesan singkat
pengelola: jangan meninggalkan sampah! Saya salut dengan Abi, yang
akhirnya bisa tidur juga, walaupun kamar cukup panas dan ditemani seekor
tokek yang ada di balik lemari.
HARI II: Nyari Lumba-Lumba, Snorkeling, Susur Pulau Kiluan, Main di Laguna
HARI II: Nyari Lumba-Lumba, Snorkeling, Susur Pulau Kiluan, Main di Laguna
Keesokan
paginya, acara kami adalah melihat lumba-lumba! Abi bangun pagi dengan
pemandangan yang tidak pernah ia jumpai di Jakarta: pantai pasir putih
dengan laut biru, dan matahari yang menyembul di balik bukit. Dia makin
semangat ketika mengetahui bahwa beberapa saat lagi akan menyaksikan
antraksi lumba-lumba di 'rumahnya lumba-lumba,' bukan di Ancol!!
Wihiiiyyy....
Jukung
yang kami pesan sudah tiba. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Saat dimana
matahari baru terlihat setengahnya dan ombak belum besar. Pantai masih
sangat tenang dan kami terpesona dengan kejernihan pantai dan lautnya.
Foto sana, foto sini, mengabadikan setiap sudut dan keindahan, sambil
bersyukur dalam hati bahwa saya masih diberi kesempatan untuk menikmati
alam semegah ini. Puji Tuhan!
Sunrise pagi itu *no filter |
Untuk
kami berempat, diperlukan 2 jukung, karena 1 jukung hanya boleh membawa
maksimal 3 penumpang ke teluk. Saya berada di jukung yang sama dengan
Tami, sementara Kiki dengan Megah. Segera kami bersiap dengan life jacket masing-masing, dan tentu saja kacamata hitam supaya tidak silau...
Foto dulu sebelum naik jukung ;) |
Waktu
menunjukkan pukul 6.30 dan kami bertolak menuju .... laut! Abi, yang
baru pertama kali dalam hidupnya naik perahu kayu, cukup grogi ketika
perahu itu mulai bergerak. Badannya tak bergerak sedikit pun,
pandangannya lurus ke depan. Saya menawarinya berbagai cemilan, dia
menolak. Setelah kurang lebih 1 jam di laut (mencari lumba-lumba), baru
dia terlihat lebih rileks, disertai perasaan tak sabar saya dan Tami
yang sudah mulai habis, karena hari semakin siang, matahari makin tinggi
dan panas, namun lumba-lumba tak kunjung terlihat juga.
Terakhir
kali mengecek jam di HP, waktu menunjukkan pukul 8.15. Ahh.... yang
bener aja nih. Sudah sejauh ini, masa gak ketemu juga? Jukung yang kami
naiki kembali berputar arah, menuju sudut lain di teluk. Tiba-tiba bapak
pemandu bilang dengan santainya, "Itu dia, mbak."
Hah?
Mana pak? Saya dan Tami langsung panik, takut kehilangan momen. Itu
dia!!!! Segerombolan lumba-lumba hidung botol (warna abu-abu) sedang
melompat-lompat di laut! Abi di samping saya, tersenyum lebar melihat
atraksi ini. Dia mungkin belum begitu mengerti apa artinya melihat
lumba-lumba di laut. Buat saya, Tami, Megah, dan Kiki.... kesempatan ini
berharga sekali. Lain rasanya menyaksikan mereka hidup di habitat
daripada ketika melihat mereka menjadi obyek hiburan dan diminta untuk
mengikuti instruksi ini-itu. Belakangan, dari koleksi foto lumba-lumba
kami yang terbatas, Abi menemukan tidak hanya lumba-lumba hidung botol
saja yang waktu itu kami temui, tapi juga lumba-lumba hitam yang memang
gemar melompat di dekat kapal, yang bentuk hidungnya tidak seperti botol
dan warna kulitnya hitam putih.
The best shot from my android phone ;) |
Picture by Megah |
Atraksi
lumba-lumba di Teluk Kiluan itu tidak memakan waktu yang lama, saya
rasa tidak sampai setengah jam, lalu kami tidak melihat mereka lagi.
Segera kami kembali ke pulau, lagipula saat itu hari sudah semakin
siang, matahari makin tinggi, dan perut mulai minta diladeni.
Di
pulau, kami memesan makanan pada pemilik penginapan. Ikan bakar yang
cukup untuk kami berempat. Sesaat kemudian, 4 ekor ikan tongkol, sayur,
sambal, dan nasi sebakul dihidangkan tepat di depan kamar kami. Makan
siang yang sangat klasik di pinggir pantai, bukan? :D
Agenda
kami berikutnya adalah snorkeling! Snorkeling kali ini saya rasakan
cukup berbeda. Kali ini saya tidak bisa bebas mengembara tanpa batas di
dunia bawah laut, seperti pengalaman snorkeling sebelum-sebelumnya. Hal
ini dikarenakan, anak saya menanti di pinggir pantai. Abi masih sibuk
bermain mencari keong-keong laut ketika saya baru memulai snorkeling
bersama pemandu. Sesaat kemudian, ketika dia melihat saya sudah berada
di tengah laut, dia berteriak-teriak memanggil nama saya untuk kembali.
Ntah apa yang ada dipikirannya, mungkin dia mengira saya tidak akan
kembali ke pantai atau ntah apa. Saya langsung kembali ke tepi,
meninggalkan Megah, Kiki, dan Tami yang masih bersama pemandu. Saat itu
dia sudah ditemani oleh pemilik penginapan yang menghiburnya. Saya
tersenyum padanya, dan (walaupun tidak kembali untuk snorkeling),
mengatakan padanya, bahwa saya hanya bermain-main sebentar dengan Nemo
di bawah laut.
Cukup
lama kami bemain-main dengan laut. Walaupun hanya nongkrong di sekitar
pantai, saya dan Abi sangat menikmati waktu kami. Kebetulan, memang
hanya kami yang berada di pulau itu. Tidak ada orang lain. Kami benar-benar seperti
sedang berada di pantai dan pulau pribadi.
Seusai
snorkeling, kami beristirahat sejenak di penginapan. Kami berencana
untuk check-out siang itu, dan kembali ke seberang untuk menginap semalam
lagi disana, karena kami mau menuju laguna. Rupanya, pemandu memiliki
usul lain. Sambil mengisi waktu, pemandu mengajak kami untuk
'berkeliling' pulau. Tolong diingat disini, yang saya maksud dengan
'berkeliling' pulau termasuk trekking ke atas laguna, naik ke atas
tebing, tapi tidak bisa terjun! Karena sebenarnya, spot tersebut adalah
untuk menikmati sunset! Kami merasa 'dikerjain' karena jalannya curam.
Lagipula, kalau memang untuk sunset, untuk apa juga kami diajak kesana
siang-siang bolong?? Walaupun demikian, kami (terutama) saya, tetap
menikmatinya.... karena ini kali pertama anak saya ikut trekking ke atas
tebing!
Abi dibantu oleh pemandu untuk sampai ke puncak tebing |
Perjalanan
kami lanjutkan dengan turun dari tebing dan menuju penginapan dengan
jalan memutar. Pulau ini memang tidak begitu besar, kurang lebih 5
hektar (Sumber: id.wikipedia.org). Sepanjang perjalanan, kami
ditunjukkan beberapa spot yang juga biasa dipergunakan pelancong untuk
mendirikan tenda (terutama jika penginapan sedang penuh). Hal ini
terlihat dari beberapa kaleng bir yang tergeletak di tepi pantai. Walah,
baru tau saya kalau berkemah boleh meninggalkan sampah. Sewaktu ikut
pramuka di sekolah dulu, meninggalkan sampah berserakan setelah berkemah
itu sama saja dengan nyari masalah. Hukumannya bisa fisik atau
kemarahan kakak tingkat! Hehehe....
Pukul
13.00 waktu setempat dan segera kami berkemas menuju seberang. Kami
merasa sangat puas telah menikmati keindahan pulau Kiluan ini. Semoga
kealamian yang dimiliki daerah ini tetap dipertahankan. Selama ini,
Kiluan memang dikelola oleh masyarakat setempat, dengan fasilitas dan
promosi yang seadanya. Daerah ini betul-betul dikenal oleh masyarakat
luas (atau dunia) melalui promosi dari mulut ke mulut. Kalau saja
pemerintah setempat bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan pariwisata
Kiluan (dan banyak daerah di sekitarnya), tentu akan lebih banyak lagi
masyarakat Indonesia yang mengenal kemolekan teluk di ujung Sumatra ini.
Tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk menikmati pantai pasir
putih, atau ke Australia untuk menyaksikan lumba-lumba di laut, bukan?
;)
Kami kembali menaiki jukung dan menepi, lalu memesan kamar di Warung Pak Yon untuk bermalam. Lalu kami mencari jalan, bagaimana supaya bisa menuju Laguna karena pemandu yang sebelumnya hanya memandu di pulau Kiluan saja. Akhirnya, dari penduduk setempat, dipanggillah beberapa pemuda dengan sepeda motornya yang siap mengantar kami untuk pergi ke Laguna. Tawar-menawar harga 'ojek' dibantu oleh beberapa ibu-ibu yang kebetulan berbelanja di warung Pak Yon, dan tersebutlah harga kesepakatan Rp 10.000 untuk mengantar kami, bersama seorang pemandu dadakan. Total ada 4 ojek dan kami kembali bersiap dengan trekking selanjutnya.
Kami kembali menaiki jukung dan menepi, lalu memesan kamar di Warung Pak Yon untuk bermalam. Lalu kami mencari jalan, bagaimana supaya bisa menuju Laguna karena pemandu yang sebelumnya hanya memandu di pulau Kiluan saja. Akhirnya, dari penduduk setempat, dipanggillah beberapa pemuda dengan sepeda motornya yang siap mengantar kami untuk pergi ke Laguna. Tawar-menawar harga 'ojek' dibantu oleh beberapa ibu-ibu yang kebetulan berbelanja di warung Pak Yon, dan tersebutlah harga kesepakatan Rp 10.000 untuk mengantar kami, bersama seorang pemandu dadakan. Total ada 4 ojek dan kami kembali bersiap dengan trekking selanjutnya.
Ketika
mengetahui bukit mendaki yang akan kami lalui untuk menuju laguna, saya
langsung memperingatkan Abi untuk tinggal di penginapan saja. Saya
tidak yakin, setelah berbagai kegiatan yang cukup menguras tenaga sedari
pagi, Abi masih bisa kuat melalui perjalanan ke laguna ini. Apalagi,
menurut pemandu, jalannya juga cukup terjal, dipenuhi batu-batu (yang
judulnya sebenernya hampir sama dengan 'susur tebing'). Tapi Abi tidak
terlihat lelah, dia malah bilang, "Aku ikut, Mami. Ayo..."
Ya sudah, aku cuma bisa berdoa semoga ketika dia bilang 'capek' nanti, kita berada di tempat yang bisa duduk sambil menikmati pemandangan, bukan di tengah hutan.
Ya sudah, aku cuma bisa berdoa semoga ketika dia bilang 'capek' nanti, kita berada di tempat yang bisa duduk sambil menikmati pemandangan, bukan di tengah hutan.
Salah satu rute di bukit menuju laguna |
Bukit
ini, luar biasa! Berpasir, dipenuhi pohon coklat yang memang merupakan
salah satu budidaya masyarakat setempat. Gunakanlah alas kaki yang
memadai, karena di jalan yang berpasir seperti di bukit ini, anda bisa
terpeleset jika tidak hati-hati dan tidak menggunakan alas kaki yang
tepat.
Tibalah
kita di pantai di balik bukit. Namun, bukan ini tujuan kami. Jadi, kami
melalui lagi jalan setepak berbatu besar-besar yang sudah ditandai
dengan cat berwarna merah khusus untuk anda yang memang menuju laguna. Nobody said it was easy, but they said it was worth it! Tidak perlu saya jelaskan bagaimana perjalanan kami, nikmati saja foto collage yang sudah saya buat ini.
Tebing
dengan tinggi kurang lebih 4 meter, airnya yang super bening, anda
tidak mungkin menolak untuk terjun ke dalamnya. Terus terang, ini kali
pertama saya terjun di laguna! I did buggy jumping and roller coaster when I was young, but it doesn't mean I have the guts to jump into a lagoon! Setelah
tarik ulur dengan diri sendiri, akhirnya saya terjun juga! Sungguh
surga tersembunyi! Dan kami sangat beruntung merasakan ini dalam keadaan
laguna yang tidak ramai, hanya kami yang ada disana!
Malam
harinya, kami meluangkan waktu untuk hibernasi. Makan malam (*nd*m**),
memasak, dan ngobrol-ngobrol. Megah mengeluhkan kulit mulusnya yang
terbakar matahari. Dia dan saya dengan penuh spekulasi mencoba berbagai
medikasi 'rumahan' dan darurat yang mungkin bisa membantu, namun tidak
berhasil, bahkan kulit terbakarnya menjadi lebih panas dan perih.
Upsss.... ;)
Waktu
tidur kami dihiasi dengan 'kunjungan' 'penjaga' dusun yang mungkin
ingin mengenal kami dengan lebih dekat. Kiki, Megah, dan Tami mendengar
pintu kamar kami diketuk dengan sangat kasar, saya dan anak saya tidak
(karena kami sudah tidur). Sedemikian mengganggunya, sehingga Kiki
berteriak minta tolong pada Pak Yon dan Ibu, yang saat itu sudah tidur.
Saya tidak ingat saat itu jam berapa, mungkin jam 10 malam. Saya masih
meraba-raba apa yang terjadi ketika Kiki meminjam pisau lipat Victorinox
saya. Sungguh-sungguh gaduh. Saya mencoba meyakinkan, mungkin itu tikus
atau kucing, Kiki yakin sekali bukan. Sementara Megah dengan santainya
mengatakan, "Itu setan tadi." Dan tak lama kemudian, suara anjing
melolong terdengar nyaring di dekat penginapan kami...
Berkali-kali
saya traveling ke daerah, naik gunung, ke pulau, baru kali ini ada yang
'mau kenalan.' Kami lalu sibuk mengevaluasi diri kami masing-masing.
Ah, ya ya ya.... mungkin kami kurang 'permisi' dan 'lupa' akan
keberadaan kami. Buat saya pribadi, ini kali pertama saya traveling
tanpa rosario. Saya lupa membawanya! Baiklah. Saya hanya bisa kembali
berbaring, memeluk anak saya, sambil berdoa Salam Maria sampai tertidur.
Permisi...., kami sudah boleh tidur kan sekarang? Maaf, ya kalau kami
mengganggu..... :)
HARI III: Kembali Ke Jakarta
HARI III: Kembali Ke Jakarta
Pagi
yang cerah. Beberapa tetangga Pak Yon menanyakan apa yang terjadi
semalam dalam Bahasa Jawa yang kental. Pak Yon menjawab dalam Bahasa
Jawa halus yang kira-kira artinya, "Ada tikus gede kayaknya."
("_")'
("_")'
Homestay Pak Yon |
Kami
bersiap, mandi di kamar mandi dan air yang jauh lebih bersih daripada
penginapan di pulau, dan ini membuat anak saya jadi bisa BAB. Jam 8
pagi, kami pamit pada Pak Yon sekeluarga, kami merasa sangat berterima
kasih dengan keramahtamahan keluarga ini, dan menurut saya tempat ini
sangat recommended bagi anda yang menginginkan penginapan murah dan bersih di Kiluan.
Bersama Pak Yon dan Istri |
Di
sepanjang jalan, barulah kami bisa menikmati perjalanan kami, karena
sebelumnya, kami menempuh perjalanan di malam hari. Dusun ini juga
ditinggali oleh sekelompok masyarakat Bali yang hidup berdampingan
dengan penduduk asli Lampung. Tak heran, banyak anjing berkeliaran bebas
di jalan-jalan (suasana yang sudah jarang saya jumpai di Jakarta) dan
umbul-umbul khas Bali di setiap sudut dusun.
Rumah Adat Lampung, taken rushly from our car window |
Salah satu ruas jalan yang harus dilalui menuju/atau dari Kiluan |
Setelah
mampir membeli oleh-oleh dan makan bakso (ah, saya kok lupa nama warung
bakso terkenal itu ya?), kami kembali di oper ke mobil lain untuk
menuju ke Bakauheni. Hari sudah semakin siang, dan jam 1 siang kami
bertolak dari Bakauheni menuju Merak.
Di
atas ferry, kami mendiskusikan semua yang kami alami, liburan di surga
dunia yang tak akan terlupakan, bergabungnya Abi di liburan ala backpacker ini yang sama sekali tidak menghilangkan nilai dari liburan 'tas ransel' itu sendiri, supir travel yang kurang profesional, juga our epic night yang baru kami alami kali ini. Kami sama-sama bersyukur dan belajar. Terima kasih Megah, Kiki, dan Tami!! Looking forward for the next trip: Ujung Kulon!
GAMBARAN PERINCIAN BIAYA YANG KAMI KELUARKAN
Bis Ke Merak Rp 17.000
Ferry ke Bakauheni Rp 11.500 (x2 Rp 23.000)
Travel Bakauheni - Kiluan PP Rp 800.000 (antar jemput)--> Dibagi 4 orang: Rp 200.000
Sewa Jukung ke/dari Pulau Kiluan Rp 40.000 (X2 = Rp 80.000) --> Dibagi 4 orang: Rp 20.000
Sewa Jukung untuk lihat lumba-lumba Rp 250.000/kapal *1 kapal untuk 2-3 orang --> Dibagi 2 orang: Rp 125.000
Sewa snorkel Rp 25.000
Guide Rp 100.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 25.000
Penginapan (hasil tawar menawar) Rp 150.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 37.500
Uang makan di penginapan Rp 15.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 3.750
Penginapan Pak Yon Rp 100.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 25.000
Guide ke Laguna Rp 50.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 12.500
Ojek ke Laguna Rp 10.000
Bis dari Merak ke Pulogadung Rp 20.000
TOTAL BIAYA (Yang dijumlahkan hanya harga yang ditebalkan) Rp 543.750,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar