Jumat, 10 Mei 2013

Cerita 3 Hari 2 Malam dari Kiluan, Lampung

13681869751037472825


Ketika membaca sebuah undangan teman untuk bergabung dalam perjalanan liburan ke Kiluan, saya langsung menghubunginya. Kebetulan saat itu sedang liburan sekolah dan saya rasa tidak masalah mengajak Abi (anak saya) yang saat itu juga sedang liburan Paskah. Yang menjadi pikiran saya saat itu adalah perjalanan ini ala backpacker. Hmm... ini akan menjadi pengalaman pertama untuknya. Kejauhan gak ya untuk anak umur 4 tahun backpack dari Jakarta ke Lampung? Ah, it's all about mindset. Kalau kita pikir bisa, pasti bisa. Akhirnya, saya mengkonfirmasi keberangkatan dan masih punya waktu 2 hari untuk mempersiapkan Abi.

Kami sepakat bertemu di Slipi Jaya jam 6 pagi. Meeting point ini kami tentukan berdasarkan tempat tinggal kami yang berjauhan satu sama lain dan Slipi Jaya adalah tempat yang paling masuk akal untuk kami berempat. Pukul 6.20 kami mencegat bis Primajasa. Ya, saya yang datang agak terlambat (Maaf, ya teman-teman). Hup! Saya, Abi, Megah, Kiki,  dan Tami masuk ke dalam bus yang sudah terisi setengahnya dari Kp. Rambutan. Dengan membayar Rp 17.000, 2 jam kemudian kami tiba di pelabuhan  Merak setelah sebelumnya singgah di Terminal Terpadu Merak Cilegon dan Serang beberapa saat.

Terus terang, ini perjalanan pertama saya menuju Sumatra. Satu-satunya pulau besar di Indonesia yang belum pernah saya kunjungi. Keluarga besar yang tersebar di penjuru negeri ini, membuat saya tidak pernah kesulitan bepergian kesana-kemari. Tapi tidak dengan Sumatra, karena tidak ada yang tinggal di sana. Ini akan menjadi perjalanan perdana saya dan Abi ke Sumatra! Aheyy!


HARI I: Perjalanan Jakarta - Pulau Kiluan

Biaya kapal ferry sebesar Rp 11.500 (dewasa) dan Rp 7.000 (anak-anak), lalu kami menuju Kapal Tribuana. Abi takjub melihat kapal ferry. Dia sibuk menanyakan kenapa mobil bisa masuk ke dalam kapal, ada berapa mobil yang bisa masuk, berapa lama perjalanan ke Bakauheni, dan juga membicarakan pulau-pulau kecil yang kami temui di sepanjang Selat Sunda. Ketika teman-teman saya yang lain beristirahat sepanjang perjalanan, saya melayani anak saya dan melancarkan strategi yang memang sudah saya susun untuk mengisi waktu selama perjalanan supaya dia tidak bosan. So far, so good.

1368164917946982652
Beginilah salah satu cara Abi membunuh waktu di atas ferry

Perjalanan selama 2 jam tidak terasa karena pemandangan alam indah khas laut Indonesia: pulau-pulau kecil dan laut biru. Kalau anda tidak mengantuk, anda tidak akan sia-sia kok menikmati panorama ini, sambil menikmati sebungkus mie instan atau sekedar minum minuman soda (yang walaupun kurang menyehatkan, tapi tentunya sangat menyegarkan).


1368187105467599657

Pelabuhan Bakauheni. Saya pikir, cuma saya yang merasakan ini...ternyata teman-teman saya juga. Alangkah ramainya pelabuhan ini dan sangat riweuh (Bahasa Sunda, yang saya tidak tahu apa Bahasa Indonesianya). Pada umumnya, orang-orang mencari penumpang dengan cara bertanya atau (yang paling keras) berteriak-teriak. Ternyata, tidak hanya itu, di sini supir-supir bis membunyikan klakson untuk menarik penumpang. Bayangkan saja, ada kurang lebih 5 bis besar di depan kami dan semua membunyikan klakson di saat yang bersamaan! Alright! Selamat Datang di Propinsi Lampung!

13681652331959515267
Ke-riweuh-an pelabuhan kala itu (Abi sampai tutup kuping)

Penampilan kami, tentu sudah menarik perhatian. Penampilan cewek-cewek Jakarte (ehm...saya juga boleh lah dibilang cewek, biarpun bawa 'buntut.' Hehe), dengan tas ransel, sendal jepit, kacamata hitam, dan terlihat sedikit disorientasi lapangan; membuat para dedengkot pelabuhan ramai mengerubungi kami, menawarkan jasa untuk mengantar sampai ke tujuan.
"Maaf, pak...kami dijemput."
"Iya, sudah dijemput."
"Gak, pak...makasih."
Kalimat-kalimat ini yang bisa kami katakan, sambil menunjukkan sikap penolakan karena kami memang sudah memesan travel untuk mengantar ke Lampung.

Kami meminta untuk singgah makan siang di sekitar Pelabuhan, sebelum menuju Lampung. Nasi padang, pilihan kami dan mungkin satu-satunya menu yang bisa mengerti selera kami saat itu. Supir yang saat itu menjemput kami, meminta untuk menunggu sebentar di rumah makan karena dia bilang akan menjemput keponakannya yang juga baru sampai di Bakauheni. Kami pikir, tidak masalah lah selama masih ada tempat di dalam mobil. Menunggu 15 menit, 30 menit, 45 menit, tidak datang-datang. Sementara hari sudah semakin sore, dan perjalanan kami bisa tertunda dalam waktu yang tidak kami ketahui kalau begini caranya. Kiki, yang sudah sabar menunggu jadi agak kesal, karena tidak seharusnya penumpang seperti kami diminta menunggu supir dalam waktu yang begini lama. Kiki menelpon sang supir dan meminta dia untuk kembali dengan segera karena batas toleransi kami sudah habis. 5 menit kemudian supir tersebut datang. Kami menanyakan keberadaan keponakannya dan dia bilang belum ketemu. Hmm... oya????

Tanpa penjelasan lebih lanjut, tanpa maaf, supir langsung melajukan kendaraannya menuju Lampung. Melaju diatas kendaraan roda 4 dengan kecepatan di atas 100km/jam bukan hal baru untuk kami. Tapi melaju di atas kendaraan roda 4, dengan kecepatan di atas 100 km/jam, SAMBIL menerima telepon, wah saya tidak bisa tinggal diam, apalagi ada anak kecil di dalam mobil. Saya menegur supir, untuk menepi jika ada telepon masuk, karena sangat membahayakan walaupun dia sudah tahu kondisi jalan. Tentu saja, teguran saya tidak digubris. Ketika ada telepon berikutnya masuk, dia hanya bisa mengurangi kecepatan sambil tetap menerima telepon. Ya sudahlah. *sigh*

Perjalanan menuju kota Bandar Lampung ditempuh selama kurang lebih 2 jam, lalu kami dioper ke mobil lain (dengan travel yang sama) untuk menuju ke Dusun Bandung Jaya (Kabupaten Tanggamus), dimana nanti kami akan langsung bertolak menuju Pulau Kiluan yang tak jauh lagi jaraknya. Memerlukan waktu 3 jam untuk sampai di sana. Karena sudah kesorean, maka kami sampai di Bandung Jaya pukul 8 malam. Jalan menuju dusun ini belum mulus, naik turun dan bumpy jadi anda harus berhati-hati memilih supir, pastikan supir anda tau pasti jalan menuju dusun ini. Apalagi, minimnya penerangan di sepanjang jalana. Beruntung supir kami, yang juga pemilik travel adalah warga dusun tersebut, sehingga dia cukup tau bagaimana menaklukkan jalan-jalan rusak itu.

Tiba di Dusun Bandung Jaya, kami diturunkan di rumah Pak Yon. Pak Yon juga memiliki warung yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari telur, susu, shampo, sampai mie instan. Warung ini adalah 'pusat perbelanjaan' terakhir yang bisa anda temui sebelum anda bertolak ke Pulau Kiluan. Jadi, jika anda berencana untuk menginap di pulau dan persediaan anda habis, pastikan anda membekali diri anda sebaik mungkin dengan berbelanja di warung Pak Yon :)


Perjalanan menuju Pulau Kiluan tidak lama, hanya 15 menit. Sensasinya adalah ini kami lakukan di malam hari, tanpa penerangan di jukung (kapal kayu milik penduduk atau saya biasa menyebutnya ketinting) dan kondisi perairan di teluk yang tidak kami ketahui pasti. Sungguh gelap gulita, sementara di kejauhan tampak Pulau Kiluan masih agak terang dengan penerangan seadanya dari genset.

Setiba kami di pulau, kami disambut hangat oleh pemilik penginapan. Kami langsung dipersilakan istirahat, dan tentu saja yang kami lakukan pertama kali adalah mencari listrik! Haha... ya ya... kami perlu dengan segera, secara bergiliran, mengisi ulang baterai segala gadget yang kami miliki, maklum... genset ini akan mati besok pagi jam 6!


136816702365414403
Penginapan Kami

Penginapan satu-satunya di pulau ini memang tidak bisa dinilai nyaman banget. Yah...cukuplah. Tapi kalau sedang peak season anda juga bisa mendirikan tenda di pulau ini, tentunya dengan pesan singkat pengelola: jangan meninggalkan sampah! Saya salut dengan Abi, yang akhirnya bisa tidur juga, walaupun kamar cukup panas dan ditemani seekor tokek yang ada di balik lemari.


HARI II: Nyari Lumba-Lumba, Snorkeling, Susur Pulau Kiluan, Main di Laguna 

Keesokan paginya, acara kami adalah melihat lumba-lumba! Abi bangun pagi dengan pemandangan yang tidak pernah ia jumpai di Jakarta: pantai pasir putih dengan laut biru, dan matahari yang menyembul di balik bukit. Dia makin semangat ketika mengetahui bahwa beberapa saat lagi akan menyaksikan antraksi lumba-lumba di 'rumahnya lumba-lumba,' bukan di Ancol!! Wihiiiyyy....

Jukung yang kami pesan sudah tiba. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Saat dimana matahari baru terlihat setengahnya dan ombak belum besar. Pantai masih sangat tenang dan kami terpesona dengan kejernihan pantai dan lautnya. Foto sana, foto sini, mengabadikan setiap sudut dan keindahan, sambil bersyukur dalam hati bahwa saya masih diberi kesempatan untuk menikmati alam semegah ini. Puji Tuhan!



1368187263191931980
Sunrise pagi itu *no filter











Untuk kami berempat, diperlukan 2 jukung, karena 1 jukung hanya boleh membawa maksimal 3 penumpang ke teluk. Saya berada di jukung yang sama dengan Tami, sementara Kiki dengan Megah. Segera kami bersiap dengan life jacket masing-masing, dan tentu saja kacamata hitam supaya tidak silau...



136818748386076176
Foto dulu sebelum naik jukung ;)












Waktu menunjukkan pukul 6.30 dan kami bertolak menuju .... laut! Abi, yang baru pertama kali dalam hidupnya naik perahu kayu, cukup grogi ketika perahu itu mulai bergerak. Badannya tak bergerak sedikit pun, pandangannya lurus ke depan. Saya menawarinya berbagai cemilan, dia menolak. Setelah kurang lebih 1 jam di laut (mencari lumba-lumba), baru dia terlihat lebih rileks, disertai perasaan tak sabar saya dan Tami yang sudah mulai habis, karena hari semakin siang, matahari makin tinggi dan panas, namun lumba-lumba tak kunjung terlihat juga.


1368187592292851440


Terakhir kali mengecek jam di HP, waktu menunjukkan pukul 8.15. Ahh.... yang bener aja nih. Sudah sejauh ini, masa gak ketemu juga? Jukung yang kami naiki kembali berputar arah, menuju sudut lain di teluk. Tiba-tiba bapak pemandu bilang dengan santainya, "Itu dia, mbak."

 
Hah? Mana pak? Saya dan Tami langsung panik, takut kehilangan momen. Itu dia!!!! Segerombolan lumba-lumba hidung botol (warna abu-abu) sedang melompat-lompat di laut! Abi di samping saya, tersenyum lebar melihat atraksi ini. Dia mungkin belum begitu mengerti apa artinya melihat lumba-lumba di laut. Buat saya, Tami, Megah, dan Kiki.... kesempatan ini berharga sekali. Lain rasanya menyaksikan mereka hidup di habitat daripada ketika melihat mereka menjadi obyek hiburan dan diminta untuk mengikuti instruksi ini-itu. Belakangan, dari koleksi foto lumba-lumba kami yang terbatas, Abi menemukan tidak hanya lumba-lumba hidung botol saja yang waktu itu kami temui, tapi juga lumba-lumba hitam yang memang gemar melompat di dekat kapal, yang bentuk hidungnya tidak seperti botol dan warna kulitnya hitam putih.


1368186816569496410
The best shot from my android phone ;)



13681865441861856171
Picture by Megah

Atraksi lumba-lumba di Teluk Kiluan itu tidak memakan waktu yang lama, saya rasa tidak sampai setengah jam, lalu kami tidak melihat mereka lagi. Segera kami kembali ke pulau, lagipula saat itu hari sudah semakin siang, matahari makin tinggi, dan perut mulai minta diladeni.

Di pulau, kami memesan makanan pada pemilik penginapan. Ikan bakar yang cukup untuk kami berempat. Sesaat kemudian, 4 ekor ikan tongkol, sayur, sambal, dan nasi sebakul dihidangkan tepat di depan kamar kami. Makan siang yang sangat klasik di pinggir pantai, bukan? :D


13681877671158945616


Agenda kami berikutnya adalah snorkeling! Snorkeling kali ini saya rasakan cukup berbeda. Kali ini saya tidak bisa bebas mengembara tanpa batas di dunia bawah laut, seperti pengalaman snorkeling sebelum-sebelumnya. Hal ini dikarenakan, anak saya menanti di pinggir pantai. Abi masih sibuk bermain mencari keong-keong laut ketika saya baru memulai snorkeling bersama pemandu. Sesaat kemudian, ketika dia melihat saya sudah berada di tengah laut, dia berteriak-teriak memanggil nama saya untuk kembali. Ntah apa yang ada dipikirannya, mungkin dia mengira saya tidak akan kembali ke pantai atau ntah apa. Saya langsung kembali ke tepi, meninggalkan Megah, Kiki, dan Tami yang masih bersama pemandu. Saat itu dia sudah ditemani oleh pemilik penginapan yang menghiburnya. Saya tersenyum padanya, dan (walaupun tidak kembali untuk snorkeling), mengatakan padanya, bahwa saya hanya bermain-main sebentar dengan Nemo di bawah laut.


1368187868390660148






1368188007847683674


Cukup lama kami bemain-main dengan laut. Walaupun hanya nongkrong di sekitar pantai, saya dan Abi sangat menikmati waktu kami. Kebetulan, memang hanya kami yang berada di pulau itu. Tidak ada orang lain. Kami benar-benar seperti sedang berada di pantai dan pulau pribadi. 


1368188194299259948


Seusai  snorkeling, kami beristirahat sejenak di penginapan. Kami berencana untuk check-out siang itu, dan kembali ke seberang untuk  menginap semalam lagi disana, karena kami mau menuju laguna. Rupanya, pemandu memiliki usul lain. Sambil mengisi waktu, pemandu mengajak kami untuk 'berkeliling' pulau. Tolong diingat disini, yang saya maksud dengan 'berkeliling' pulau termasuk trekking ke atas laguna, naik ke atas tebing, tapi tidak bisa terjun! Karena sebenarnya, spot tersebut adalah untuk menikmati sunset! Kami merasa 'dikerjain' karena jalannya curam. Lagipula, kalau memang untuk sunset, untuk apa juga kami diajak kesana siang-siang bolong?? Walaupun demikian, kami (terutama) saya, tetap menikmatinya.... karena ini kali pertama anak saya ikut trekking ke atas tebing! 

13681883031240395990
Abi dibantu oleh pemandu untuk sampai ke puncak tebing

Perjalanan kami lanjutkan dengan turun dari tebing dan menuju penginapan dengan jalan memutar. Pulau ini memang tidak begitu besar, kurang lebih 5 hektar (Sumber: id.wikipedia.org). Sepanjang perjalanan, kami ditunjukkan beberapa spot yang juga biasa dipergunakan pelancong untuk mendirikan tenda (terutama jika penginapan sedang penuh). Hal ini terlihat dari beberapa kaleng bir yang tergeletak di tepi pantai. Walah, baru tau saya kalau berkemah boleh meninggalkan sampah. Sewaktu ikut pramuka di sekolah dulu, meninggalkan sampah berserakan setelah berkemah itu sama saja dengan nyari masalah. Hukumannya bisa fisik atau kemarahan kakak tingkat! Hehehe....

Pukul 13.00 waktu setempat dan segera kami berkemas menuju seberang. Kami merasa sangat puas telah menikmati keindahan pulau Kiluan ini. Semoga kealamian yang dimiliki daerah ini tetap dipertahankan. Selama ini, Kiluan memang dikelola oleh masyarakat setempat, dengan fasilitas dan promosi yang seadanya. Daerah ini betul-betul dikenal oleh masyarakat luas (atau dunia) melalui promosi dari mulut ke mulut. Kalau saja pemerintah setempat bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan pariwisata Kiluan (dan banyak daerah di sekitarnya), tentu akan lebih banyak lagi masyarakat Indonesia yang mengenal kemolekan teluk di ujung Sumatra ini. Tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk menikmati pantai pasir putih, atau ke Australia untuk menyaksikan lumba-lumba di laut, bukan? ;)

Kami kembali menaiki jukung dan menepi, lalu memesan kamar di Warung Pak Yon untuk bermalam. Lalu kami mencari jalan, bagaimana supaya bisa menuju Laguna karena pemandu yang sebelumnya hanya memandu di pulau Kiluan saja. Akhirnya, dari penduduk setempat, dipanggillah beberapa pemuda dengan sepeda motornya yang siap mengantar kami untuk pergi ke Laguna. Tawar-menawar harga 'ojek' dibantu oleh beberapa ibu-ibu yang kebetulan berbelanja di warung Pak Yon, dan tersebutlah harga kesepakatan Rp 10.000 untuk mengantar kami, bersama seorang pemandu dadakan. Total ada 4 ojek dan kami kembali bersiap dengan trekking selanjutnya.

Ketika mengetahui bukit mendaki yang akan kami lalui untuk menuju laguna, saya langsung memperingatkan Abi untuk tinggal di penginapan saja. Saya tidak yakin, setelah berbagai kegiatan yang cukup menguras tenaga sedari pagi, Abi masih bisa kuat melalui perjalanan ke laguna ini. Apalagi, menurut pemandu, jalannya juga cukup terjal, dipenuhi batu-batu (yang judulnya sebenernya hampir sama dengan 'susur tebing'). Tapi Abi tidak terlihat lelah, dia malah bilang, "Aku ikut, Mami. Ayo..."
Ya sudah, aku cuma bisa berdoa semoga ketika dia bilang 'capek' nanti, kita berada di tempat yang bisa duduk sambil menikmati pemandangan, bukan di tengah hutan.


13681673961241539359
Salah satu rute di bukit menuju laguna












Bukit ini, luar biasa! Berpasir, dipenuhi pohon coklat yang memang merupakan salah satu budidaya masyarakat setempat. Gunakanlah alas kaki yang memadai, karena di jalan yang berpasir seperti di bukit ini, anda bisa terpeleset jika tidak hati-hati dan tidak menggunakan alas kaki yang tepat.

Tibalah kita di pantai di balik bukit. Namun, bukan ini tujuan kami. Jadi, kami melalui lagi jalan setepak berbatu besar-besar yang sudah ditandai dengan cat berwarna merah khusus untuk anda yang memang menuju laguna. Nobody said it was easy, but they said it was worth it! Tidak perlu saya jelaskan bagaimana perjalanan kami, nikmati saja foto collage yang sudah saya buat ini.


13681886631854952830


13681887971019740111
1368168180787461761


Tebing dengan tinggi kurang lebih 4 meter, airnya yang super bening, anda tidak mungkin menolak untuk terjun ke dalamnya. Terus terang, ini kali pertama saya terjun di laguna! I did buggy jumping and roller coaster when I was young, but it doesn't mean I have the guts to jump into a lagoon! Setelah tarik ulur dengan diri sendiri, akhirnya saya terjun juga! Sungguh surga tersembunyi! Dan kami sangat beruntung merasakan ini dalam keadaan laguna yang tidak ramai, hanya kami yang ada disana!

Malam harinya, kami meluangkan waktu untuk hibernasi. Makan malam (*nd*m**), memasak, dan ngobrol-ngobrol. Megah mengeluhkan kulit mulusnya yang terbakar matahari. Dia dan saya dengan penuh spekulasi mencoba berbagai medikasi 'rumahan' dan darurat yang mungkin bisa membantu, namun tidak berhasil, bahkan kulit terbakarnya menjadi lebih panas dan perih. Upsss.... ;)


Waktu tidur kami dihiasi dengan 'kunjungan' 'penjaga' dusun yang mungkin ingin mengenal kami dengan lebih dekat. Kiki, Megah, dan Tami mendengar pintu kamar kami diketuk dengan sangat kasar, saya dan anak saya tidak (karena kami sudah tidur). Sedemikian mengganggunya, sehingga Kiki berteriak minta tolong pada Pak Yon dan Ibu, yang saat itu sudah tidur. Saya tidak ingat saat itu jam berapa, mungkin jam 10 malam. Saya masih meraba-raba apa yang terjadi ketika Kiki meminjam pisau lipat Victorinox saya. Sungguh-sungguh gaduh. Saya mencoba meyakinkan, mungkin itu tikus atau kucing, Kiki yakin sekali bukan. Sementara Megah dengan santainya mengatakan, "Itu setan tadi." Dan tak lama kemudian, suara anjing melolong terdengar nyaring di dekat penginapan kami...

Berkali-kali saya traveling ke daerah, naik gunung, ke pulau, baru kali ini ada yang 'mau kenalan.' Kami lalu sibuk mengevaluasi diri kami masing-masing. Ah, ya ya ya.... mungkin kami kurang 'permisi' dan 'lupa' akan keberadaan kami. Buat saya pribadi, ini kali pertama saya traveling tanpa rosario. Saya lupa membawanya! Baiklah. Saya hanya bisa kembali berbaring, memeluk anak saya, sambil berdoa Salam Maria sampai tertidur. Permisi...., kami sudah boleh tidur kan sekarang? Maaf, ya kalau kami mengganggu..... :)

HARI III: Kembali Ke Jakarta 

Pagi yang cerah. Beberapa tetangga Pak Yon menanyakan apa yang terjadi semalam dalam Bahasa Jawa yang kental. Pak Yon menjawab dalam Bahasa Jawa halus yang kira-kira artinya, "Ada tikus gede kayaknya."
("_")'

  
Homestay Pak Yon


Kami bersiap, mandi di kamar mandi dan air yang jauh lebih bersih daripada penginapan di pulau, dan ini membuat anak saya jadi bisa BAB. Jam 8 pagi, kami pamit pada Pak Yon sekeluarga, kami merasa sangat berterima kasih dengan keramahtamahan keluarga ini, dan menurut saya tempat ini sangat recommended bagi anda yang menginginkan penginapan murah dan bersih di Kiluan.

Bersama Pak Yon dan Istri

Di sepanjang jalan, barulah kami bisa menikmati perjalanan kami, karena sebelumnya, kami menempuh perjalanan di malam hari. Dusun ini juga ditinggali oleh sekelompok masyarakat Bali yang hidup berdampingan dengan penduduk asli Lampung. Tak heran, banyak anjing berkeliaran bebas di jalan-jalan (suasana yang sudah jarang saya jumpai di Jakarta) dan umbul-umbul khas Bali di setiap sudut dusun.



13681687001850955141
Rumah Adat Lampung, taken rushly from our car window

1368168817772694892
Salah satu ruas jalan yang harus dilalui menuju/atau dari Kiluan










Setelah mampir membeli oleh-oleh dan makan bakso (ah, saya kok lupa nama warung bakso terkenal itu ya?), kami kembali di oper ke mobil lain untuk menuju ke Bakauheni. Hari sudah semakin siang, dan jam 1 siang kami bertolak dari Bakauheni menuju Merak.

Di atas ferry, kami mendiskusikan semua yang kami alami, liburan di surga dunia yang tak akan terlupakan, bergabungnya Abi di liburan ala backpacker ini yang sama sekali tidak menghilangkan nilai dari liburan 'tas ransel' itu sendiri, supir travel yang kurang profesional, juga our epic night yang baru kami alami kali ini. Kami sama-sama bersyukur dan belajar. Terima kasih Megah, Kiki, dan Tami!! Looking forward for the next trip: Ujung Kulon!

1368168958934310937


GAMBARAN PERINCIAN BIAYA YANG KAMI KELUARKAN

Bis Ke Merak Rp 17.000
Ferry ke Bakauheni Rp 11.500 (x2 Rp 23.000)
Travel Bakauheni - Kiluan PP Rp 800.000 (antar jemput)--> Dibagi 4 orang: Rp 200.000
Sewa Jukung ke/dari Pulau Kiluan Rp 40.000 (X2 = Rp 80.000) --> Dibagi 4 orang: Rp 20.000
Sewa Jukung untuk lihat lumba-lumba Rp 250.000/kapal *1 kapal untuk 2-3 orang --> Dibagi 2 orang: Rp 125.000
Sewa snorkel Rp 25.000
Guide Rp 100.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 25.000
Penginapan (hasil tawar menawar) Rp 150.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 37.500
Uang makan di penginapan Rp 15.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 3.750
Penginapan Pak Yon Rp 100.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 25.000
Guide ke Laguna Rp 50.000 --> Dibagi 4 orang: Rp 12.500
Ojek ke Laguna Rp 10.000
Bis dari Merak ke Pulogadung Rp 20.000


TOTAL BIAYA (Yang dijumlahkan hanya harga yang ditebalkan) Rp 543.750,-