Sabtu, 11 Februari 2012

Suatu Sore di Balikpapan

Ada yang istimewa di liburan akhir tahun kemarin.
Setelah 7 tahun gak ketemu, akhirnya ketemu lagi sahabat gila jaman SMP dulu, Hafiz (bukan nama sebenarnya).

Usianya sebaya denganku. Perawakannya saat ini agak 'bongsor' jika dibandingkan 7 tahun lalu. Perutnya agak buncit, tanda kemakmuran mendadak yang dialaminya, rambut gondrong, dan gaya bicara seperti banci.

Aku agak kaget begitu dia datang dengan menyetir mobilnya. Dia pernah bersumpah gak pernah mau menyetir mobil, karena dia gak mau stress di jalan dan dia yakin, semiskin-miskinnya dia, pasti masih bisa mempekerjakan seorang supir untuk mengantarnya kemana-mana.

Okey. And people change, of course.

Aku senang bisa bertemu Hafiz lagi. Teman menggila setiap akhir tahun (karena aku cuma bisa pulang di akhir tahun) dan hura-hura di malam tahun baru.

Beberapa kali pada malam tahun baru, kami lewatkan dengan ke disko dan tiup terompet sepanjang jalan..Pernah kami check-in 1 kamar untuk 4 orang, dan aku perempuan satu-satunya.
Jangan khawatir, kami hanya mencari tempat untuk senang-senang main kartu dan mampir ke bar sejenak untuk merayakan pergantian tahun. Kami gak mungkin main kartu di pinggir jalan yang penuh sesak manusia kan?
Setelah lewat jam 12, barulah kami ke bar hotel yang telah usai 'counting down.' Gratis! karena acaranya sudah kelar. Hehehe
Lalu kami ajojing sampai pagi.

Ya, itulah kami beberapa tahun lalu, para kaum hedon. Dan hingga kini aku masih bisa menangkap ke-hedon-an itu di hidupnya. Ntah benar atau tidak, aku merasa Hafiz harus mempertahankan itu demi karirnya sebagai make-up artist yang baru merambah Ibukota.

Bertemu dan bertukar cerita lagi dengannya, membuatku 'kembali' sejenak pada kehidupanku dulu. Dan Hafiz agak terperangah dengan kehidupanku saat ini. Ia tidak menyangka aku bisa membesarkan seorang anak.

"Ngelahirin sih gw yakin lo bisa, Lin. Tapi ngerawatnya?? Ckckckc...bisa juga lo?" Demikian kata-katanya ketika melihat aku berjibaku dengan Abi di mobilnya. Tak lama, ia melanjutkan kalimatnya, "Tapi teteuuuupppp dong bo!!! Kuku harus berwarna! Wowwww...there you go, Linda!!!" Demikian ia mengungkapkan kelegaannya ketika melihat beberapa elemen hidupku tidak berubah.

"Inget ya, Lin. Kita hidup tetep harus jadi diri kita sendiri. OK!"
"You can count on me for that, Hafiz," kataku. "Kayak elu kan? Gak berubah blas? Tetep aja cibai kayak dulu ! Btw,  Kok lo gak jadi kawin sih sama cewek Bali waktu itu?"
"Gak cinta, Lin. Buat apa? Buat status doang? Gw udah bahagia kok sama hidup gw sekarang."
"Jadi lo positip gak kawinin si Deddy?"
"Eh, dia kali yang harus kawinin gw! Hahahaha...."tawanya lepas hingga teman-teman di belakang protes karena pengang.

Deddy adalah pasangannya yang sudah dipacarinya selama 10 tahun. Aku belum pernah bertemu Deddy, tapi namanya akrab di telinga.
"Gw gak mau muna, Lin. Gw cuma  mau hidup jujur. Januari gw bakal bikin final statement ke bonyok  tentang gw. Supaya mereka stop jodohin gw sama pere..."

Aku senang mendengarnya. Akhirnya, Tante Lies, yang juga temen akrab mami, memang harus menerima kenyataan ini setelah sekian lama menolaknya.

Terima kasih kawan.
Sesorean saat itu menjadi begitu menyenangkan.
Tuhan besertamu.