Lelaki itu meletakkan beberapa lembar KTP bersama setumpuk kertas pemesanan tiket kereta di samping saya, di konter yang sama. Saya melihatnya keheranan, mencoba meraba-raba alasan mengapa dia berani melakukan itu ketika saya belum selesai bertransaksi dengan petugas layanan pemesanan tiket. Saya mencoba untuk berkonsentrasi dengan pesanan saya yang belum kelar-kelar, tapi rupanya tindakan Bapak ini betul-betul mengganggu saya.
Saya menoleh pada antrian panjang di belakang saya. Mereka tampak begitu rapi mengantri, kecuali Bapak satu ini.
"Pak, antrinya dari belakang," saya mengingatkan.
"Gak papa, mbak saya begini supaya efisien."
"Efisien?? Bapak tidak tertib! Ngantri kok dari samping. Dimana-mana ngantri itu dari belakang, Pak!"
"Anda tidak usah repot urus saya. Nanti jadi lama! Lihat itu antrian panjang!" Suaranya meninggi.
"Ya jelas aja saya jadi ngurusin Bapak. Bapak gak tertib...," saya mencoba menahan emosi.
"Ya, sama saja lah mbak. Biasanya juga begini!" Suaranya tetap tinggi.
"Tidak tertib kok dibiasakan! Bapak ini gak bener. Yang lain sabar di belakang menunggu, Bapak seenaknya saja maju sementara saya belum selesai. Bagaimana sih??" Saya tidak tahan juga. Akhirnya, keras juga nada saya.
"Ini mbak, tiketnya," suara petugas 'menengahi' adu mulut kami. Jujur saja, saya belum puas karena Bapak ini tidak merasa bersalah. Saya langsung menarik nafas dalam-dalam. Sore ini memang panas sekali dan mengantri selama 1 jam sebelum bisa dilayani petugas memang melelahkan. Langsung saya ambil tiket saya, memeriksa kembali data yang tertera, lalu mengucapkan terima kasih. Tak lupa, sebelum meninggalkan konter, saya menoleh ke sebelah kanan saya, dimana Bapak itu masih berdiri tanpa dosa.
"Bebek aja bisa ngantri, Pak. Gak malu sama Bebek??"
Dan saya berlalu. Ntah apa yang dikatakan Bapak itu setelah saya pergi. Saya rasa kalimat tadi sudah menuntaskan kejengkelan saya.
Selamat sore!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar