Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Nonfiction |
Author: | Seno Gumira Ajidarma |
Buku ini gw baca, jauuhh sebelum gw harus hijrah ke ibukota negara ini. Direkomendasikan oleh seorang kawan waktu gw masih di Jogja, gw masih inget bener kata2 dia, "Kamu pasti suka deh. Ini buku yang kamu cari."
Dan celakanya, dia benar!!!
Gw...termasuk orang yang tidak punya satu pun alasan yang masuk akal untuk bisa cinta dengan ibukota negara tercinta ini.
Karena, menurut gw Jakarta itu bener2 kota yang gak jelas dan sangat ringkih. Kalo diibaratkan handphone, nih..Jakarta tuh kayak Nokia. Jatuh sekali...macet, hancur, walaupun spare partnya dimana2.
Tapi, itulah Jakarta. Kota yang kata orang bisa membuat semua mimpi jadi kenyataan. I b u k o t a n e g a r a, jeeeee....
Tapi, dengan segala keterbatasan, gw pun terdampar disini. Aghhh...kalau takdir sudah bicara (walaupun gw juga gak sepenuhnya percaya sama takdir...), apa hendak dikata???
Tapi, teteeeeuupppp....gw masih belum menemukan alasan supaya gw bisa cinta dengan kota ini.
Buku ini, terbitan Penerbit Buku Baik, Yogyakarta. Tahun 2004. Belum terlalu lama, memang. Setebal 218 halaman.
Berisi 51 artikel (yang masing2 kira2 sebanyak 2-3 halaman), yang isinya tentang "daily routine" Ibukota Negara ini.
Ceritanya mulai dari cerita manusia Jakarta yang hidup dengan budaya mobil nya, air seni supir taksi, sampai bagaimana cara membaca harian Pos Kota.
Sungguh, merupakan teman yang asik di sore hari, sambil minum susu coklat (karena gw gak suka kopi), sambil makan singkong goreng pake sambel...
Kalau boleh, (dan untuk mempersingkat waktu), langsung gw copy kan saja paragraf I catatan penulis yang ada di bagian awal buku ini.
" Sebuah kota bukn hanya landmark-dan itu berarti Jakarta bukan cuma Monas; bahkan bagi saya, meskipun Monumen Nasional adalah simbol kota Jakarta, tidaklah mempresentasikan Jakarta sama sekali. Jakarta tidaklah tinggi, kokoh, kuat, dantak tergoyahkan. Jakarta itu rapuh, kalau dibungkus dalam kardus mesti ditulisi: Fragile-Handle with Care. Hujan sebentar, jalanan macet,banjir, dan ada saja warga kota mengungsi; musim kemarau debu dimana2, got mempet, dan bila malam tiba gerombolan Kapak Merah mengincar perempuan menyetir sendirian di lampu merah perempatan. Sebuah kota, begitulah, bisa berkembang, dan bisa juga menghancurkan dirinya sendiri."
Damn! Dari catatan penulis ini saja, gw udah jatuh cinta.
Di buku ini, SGA memakai sebutan Homo Jakartensis untuk mempresentasikan "orang2 Jakarta". Gw juga kurang ngerti, kenapa harus kata2 itu yang dipakai.
Yang jelas, seperti buku2 yang lainnya, bahasa SGA, tetap lugas dan menggelitik, lengkap dengan kritik sosialnya.
Gak percaya?? nihhh...gw langsung kasih aja, salah satu artikel dia. Lengkap, gak gw sensor.
Judul: Manusia Jakarta, Manusia Mobil
Mobil adalah dunia ketiga, setelah rumah sebagai Dunia Pertama, dan tempat kerja sebagai Dunia Kedua.
Dunia Jakarta adalah dunia mobil dan kemacetan. Tidak bisa tidak, manusia Jakarta harus berurusan dengan dua perkara itu. Meskipun ia tidak punya mobil, ia akan berurusan dengan kemacetan, atau berurusan dengan orang yang punya mobil yang terjebak kemacetan. Demikianlah pertumbuhan Jakarta melahirkan mobil2 dan orang bermobil, dan hasilnya adalah sebuah dunia macet oleh pertumbuhannya sendiri. Mampus! Namun untuk kesekian kalinya, manusia menunjukkan kemampuannya beradaptasi. Manusia dan mobil dalam sintesa kemacetan ternyata melahirkan semesta yang unik.
Secara teoritis, waktu dalam kehidupan manusia Jakarta dibagi dua, di rumah dan di tempat kerja. Ini melahirkan dikotomi stereotip tentang tarik ulur antara keluarga dan karier. Dalam praksis, waktu yang 24 jam itu ternyata dibagi 3: waktu di rumah, waktu di kantor, dan waktu dalam perjalanan - bagi sebagian manusia Jakarta, hal itu berarti di dalam mobilnya sendiri. Andaikan secara rutin ia menghabiskan 2 jam untuk mencapai kantor dari rumah dalam jebakan kemacetan, maka itu berarti 4 jam sehari, masih ditambah jika untuk segala urusan kerja ia harus ke sana ke mari. Alhasil, tak kurang dari sepertiga waktu dalam hidup manusia Jakarta habis di dalam mobil. Seandainya, ia bekerja mulai umur 25 tahuin, dan berhenti bekerja umur 55 tahun, maka tak kurang dari 10 tahun dari masa kerjanya habis di perjalanan. Nah, apa yang bisa dilakukan manusia selama 10 tahun, tapi di dalam mobil?
Kalau Anda terjebak kemacetan pada pukul 06.30 pagi, dengan segera Anda akan melihat pemandangan yang khas: suami menyetir, sang istri berdandan - kemasan kosmetik ringkas yang memungkinkan dibawa keman2 melahirkan pemandangan eksotik itu. Dan hanya kemacetanlah yang membuatnya mungkin mengoleskan pinsil alis, membuat bayangan mata, dan menggoreskan lipstik dengan rapi. Ini bukan konsidi darurat, melainkan kebiasaan setiap hari. Waktunya sudah diperhitungkan. Dalam kategori ini, termasuk makan sandwich (atau bakpau, bcang, atau arem2), membaca korang, dan mendengar berita. Pemandangan makan sambil menyetir adalah juga jamak di Jakarta, akibat adanya tradisi kemacetan yang pada gilirannya menumbuhkan budaya mobil.
Adalah kemacetan pula yang membuat handphone menjadi funsional. Bagi penduduk kota tanpa kemacetan seperty Kyoto atau Den Haag, handphone adalah kemewahan besar, karena tempat manapun bisa dicapai dengan segera. Namun untuk manusia Jakarta, handphone mengatasi banyak hl - yang tentu saja harus dibayar. Adapun ber-handphone ria jelas terberlakukan di dalam mobil, sebuah head-set khusus telah diciptakan agar manusia dalam mobil bisa menyetir dengan 2 tangan sambil bicara. Tetapi sebetulnya manusia Jakarta cukup malas membeli alat tambahan itu, sungguh mati telah ahli mengemudi dengan 1 tangan. Memindah kopling, memasang kaset, dan membuka jendela untuk mengulurkan koin kepada Mr. Cepek dilakukan hanya dengan 1 tangan. Artinya, sesekali setir itu dilepaskan. Hal ini tidak diajarkan dalam kursus menyetir maupun dites ketika ujian mencari SIM. Haibat! Ketika dia menuju sebuah tempat, dalam perjalanan 2 jam ia sudah menghubungi 12 tempat lain. Entah bisnis atau ngerumpi, salah satu perilaku yang ditumbuhkan aspek bermobil dalam kemacetan.
Dengan begitu bermobil bukan sekedar menjadi sebuah kategori transportasi. Bermobil tumbuh sebagai suatu kultur yang mandiri, dan ruangan dalam mobil menjadi semesta yang otonom. Fasilitas memutar CD misalnya, merupakan fungsi efektif bagi manusia Jakarta yang harus memberikan dirinya untuk keluarga di rumah, dan dimanfaatkan tenaganya di kantor yang tak mau rugi. Kapankan waktu untuk diri sendiri total? Hanya di dalam mobil itulah seorang penikmat musik bisa menggasak Luciano Pavarotti sekencang2kencangnya,dan hal ini tidak mungkin dilakukannya di kantor maupun di rumah, meski pada hari Minggu, karena manusia Jakarta yang konvensional pada akhir minggu mempersembahkan dirinya untuk keluarga.
Sekarang saya mengerti, mengapa banyak mahasiswa pascasarjana lebih suka merekam daripada mencatat omongan dosennya. Mereka belajar di dalam mobil. Betapa mangkus dan batap sangkil. Bisakah dibayangkan adanya loket drive-through McDonald's tanpa mobil dan tanpa kemacetan yang menyebabkan kelaparan?
Bukan juga perilaku yang aneh, jika eksekutif dan selebriti menerima wartawan yang ingin mewawancarainy di dalam mobil. Jelas ruang dalam mobil telah menjadi ruang privat yang sesuai kebutuhan bisa disekat sebagian sebagai ruang publik. Jakarta memang belum separah Bangkok, di mana kita temukan peralatan untuk buang air kecil di dalam mobil2nya, namun fenomena kemacetan Jakarta tetap memberikan nuansa tersendiri di antara kota2 di dunia. Media massa cetak Jakarta mengandalkan kemacetan itu untuk pertumbuhan bisnis. Jadi, ada hukum dagang terblik: bukan transportasi lancar memajukan bisnis, melainkan kemacetan menjadi gantungan harapan larisnya koran dan majalah. Maka, pada jam pulang kantor, kita lihat penjual koran berlari2 mengejar uang yang terulur dari balik jendela mobil, dan kita saksikan di dalam mobil seseorang membaca koran sambil menerima telepon. Dari jendela bis yang tinggi, sering terlihat mata yang bertanya2, statistik apa yang terpampang di layar laptop dalam sebuah BMW.
Hmm. Mobil memang bukan sekedar sarana transportasi. Mobil adalah Dunia Ketiga, setelah rumah dan tempat kerja. Di Dunia Ketiga itu dilangsungkan segala hal yang mungkin - maupun tidak mungkin- terjadi di Dunia Pertama maupun Dunia Kedua: berkeluarga, bekerja, atau becinta. Hmm. Berterimakasihlah kepada kemacetan Jakarta."